"Tidak apa pengiriman pasukan apapun."
Heru mengekori Johan sampai keruangannya, polisi berpangkat Letnan itu terus mendesak agar Johan mau menyetujui pengiriman beberapa personil atas beberapa bukti kejahatan Jenderal Bumi yang di kirimkan Rey padanya beberapa saat sebelumnya.
"Ini urgent, Ndan." pinta Heru.
"Pimpinan perintahkan seperti itu, saya tidak bisa berbuat apa-apa." tolak Johan, pria itu malah sibuk mengeluarkan rokok dan korek dari sakunya.
"Bukti yang Rey kirim cukup untuk kita melakukan tindakan, Ndan. Setidaknya memastikan bahwa mereka aman. Rey tidak bisa dihubungi, Peter bahkan sejak beberapa hari sebelumnya, Haikal juga tidak pernah kelihatan. Kenapa belum cukup membuat Komandan memutuskan ini sebagai situasi darurat." Helu mulai menaikkan nada suaranya.
"Kamu mau berseteru dengan Jenderal? Lebih percaya pada omong kosong perwira pertama daripada Jenderal?" jawab Johan masih dalam posisinya.
"Ndan,"
"Sudah Letnan Heru, saya lama-lama muak dengan Anda ini, kalian semua semakin lama tidak lagi melihat saya sebagai atasan, hanya karena saya baik sama kalian sebelumnya." hardik Johan. "Keluar dari ruangan saya." usirnya.
Heru tak menjawab, Ia menatap Johan sesaat sebelum benar-benar melangkah dan meninggalkan ruangan itu. "Saya tidak akan tinggal diam, saya cukup jadi pengecut karena bersikap acuh saat Komandan berkoar di depan media dengan mengatakan bahwa Komandan lah yang membunuh Mahameru. Kali ini tidak lagi." ucap Heru dari ambang pintu sebelum membantingnya dengan keras.
"Bagaimana Bang?"
Gia yang berdiri di luar ruangan langsung menyambut Heru dengan perasaan tegang.
Heru menatap sekilas rekan wanitanya itu sebelum berjalan kemeja kerjanya. "Kita akan tetap pergi."
Sementara di kediaman Jenderal Bumi, Haikal alias Bimasakti berdiri bersedekap menatap layar yang menunjukkan Peter, Gala dan Rey sedang melawan anak buahnya membuat pria itu tertawa geli.
"Kak kak, bahkan sudah bertiga pun masih kewalahan lawan orang-orang lemah begitu."
"Satu hari mencekam begini, tidak ada apa-apa dengan tiga belas tahun hidupku yang diliputi rasa sakit, terlebih harus menyaksikan kamu berbahagia dengan anak pembunuhan itu Kak." gumamnya sembari menyeringai.
"Kita kewalahan, Bang." keluh Gala sembari berlindung di balik pilar besar sementara tangan satunya membentang melindungi Peter yang berada di belakangnya.
"Iya Bang, dimana bantuan yang Abang bilang itu? Kita terpojok." sambung Peter.
Tersisa satu peluru dalam magazin senjatanya, sementara Gala dan Rey sudah kehabisan amunisi.
"Saya juga tidak tau, padahal sudah saya kirimkan pesan itu sebelum masuk kesini."
Ketiganya frustasi, tidak ada jalan keluar lain, sementara ada begitu banyak orang yang menghadang jalan mereka saat ini.
Rentetan tembakan terdengar bersahutan, ketiganya menunduk sambil melindungi kepala mereka dari serangan. Namun kejadian itu tak berlangsung lama karena suasana tiba-tiba berubah hening.
Cukup lama, Gala yang merasa tak ada yang memberondong mereka dengan rentetan tembakan lagi, memberanikan diri menjulurkan kepalanya dan mencoba mencari tahu apa yang terjadi.
"Bang." ucapnya memberi isyarat pada Rey.
"Kemana mereka?" ucap Rey ikut heran.
Gala memgangkat bahunya, Ia juga tidak tahu. Padahal orang-orang itu bisa saja langsung membunuh mereka.
YOU ARE READING
A SECRET [POOHPAVEL]
Fanfiction"Berlututlah sebelum timah panas ini menembus kepalamu" ~Peter Jayden