Peter menelan salivanya dalam-dalam, tangannya mencengkram pegangan kursi tempat ia diikat dengan kabel-kabel yang tertaut di sekujur tubuhnya. Peter tahu betul apa itu, alat kejut untuk menyetrum.
"Kenapa Jenderal berlaku bengis seperti ini?" Peter berteriak keras, melambungkan suaranya memenuhi ruangan persegi yang memantulkan suara itu. Meneriaki sosok tua yang duduk di kursi kebesarannya di tengah ruangan.
Bumi menyeringai, pria itu terlihat penuh wibawa dengan seragam dinas harian yang belum sempat ia lepas, terlihat seperti polisi yang berdiri di samping keadilan.
"Jenderal tidak pantas menyandang tiga bintang itu, bahkan satu pun tidak. Jenderal mengotori kesucian pekerjaan kita dengan kepentingan pribadi Jenderal." lirih Peter di tempatnya.
Namun raungan itu tak di acuhkan Bumi sama sekali, ia malah menatap remeh menantunya itu dan berjalan perlahan mendekati Peter, mirip seperti psikopat.
"Jangan berbicara soal keadilan atau semacamnya, Letnan. Itu membuat saja bergidik, jijik. Kalau saja ayahmu mau bersikap lebih manusiawi pada isteri saya, semuanya tidak perlu berakhir seperti ini. Salahkan ayahmu." ucap Bumi tenang, tak terlihat terprovokasi oleh tatapan nyalang Peter sama sekali.
"Jenderal yang licik, mencari kambing hitam atas ketidak becusan Jenderal sendiri kan? Karena Jenderal tidak mampu menjaga isteri dan anak-anak Jenderal, karena Gala yang tidak bisa mengingat kejadian itu di kepalanya, dan Bimasakti yang menghilang, Jenderal tidak ingin terluka sendirian sepanjang hidup, makanya jenderal selalu berusaha mencari kawan untuk terluka."
"Jenderal memanfaatkan posisi sebagai Kasat Narkoba selama bertahun-tahun untuk menutup berbagai kasus yang bernaung di bawah telapak tangan Jenderal. Melindungi penjahat, memfasilitasi penghianat, demi mengacaukan dan balas dendam pada institusi ini." raung Peter tanpa henti. Pemuda itu meluapkan semua perasaannya ibarat air yang terisi terlalu penuh dalam wadah. Tubuh ringkihnya terasa lemah, namun amarah yang bergejolak membuat Peter sama sekali tak gentar, dan terus meneriaki pria dengan bangkat bertingkat-tingkat di atasnya itu.
"Berkoarlah sesukamu, saya ragu kamu masih bisa membuka mata atau tidak besok pagi." ucap Bumi masih dengan seringai angkuh diwajahnya.
"Baikalah. Saya datang kesini bukan untuk berdialog ataupun mendengar petuah dari putra seorang pengkhianat seperti Anda. Saya datang kesini untuk bertanya, siapa orang-orang Anda yang masih ada di luar sana?" tanya Bumi, sambil meremas rahang Peter dengan kuat.
Peter menatap sepasang mata tua di hadapannya kebingungan, dia sama sekali tak mengerti dengan maksud Bumi. "Orang-orang saya?" ujar Peter mencoba menelisik, apa yang terjadi di luar sana?.
"Tidak usah berlagak polos, Peter. Saya tahu, seseorang sedang mencoba melepaskanmu dengan menebar ancaman pada saya kan? Kalian pikir saya mudah di bodohi?" Bumi menghempas rahang Peter.
"Siksa dia sampai mau buka mulut." titah Bumi yang membuat anak buahnya langsung patuh dan mulai memberikan setruman pertama pada Peter.
Peter mengerang, urat-uratnya terlihat menonjol, tubuhnya mati rasa namun segera merasakan sakit yang luar biasa begitu anak buah Bumi berhenti. "Jadi siapa yang sedang bermain-main dengan saya di luar sana?" tanya Bumi lagi dari kursinya, menatap Peter yang terengah sambil tersenyum, seolah ia sedang menyaksikan tontonan yang mengasyikkan.
Peter mengatur nafasnya beberapa saat sebelum kembali mengangkat kepalanya, menatap Bumi dengan tajam. Pria itu seolah tak menyorotkan rasa gentar sedikitpun, meski sedang berada di ambang kematiannya. "Kenapa begitu penasaran, Jenderal?. Apakah dia cukup mengganggu seorang pemilik kuasa seperti Anda ini?" Peter tersenyum, mencoba memprovokasi Bumi. Ia tak tahu apa yang terjadi di luar sana, sejak pertama kali ia dibawa ketempat ini, tak tahu juga siapa seseorang yang di maksud Bumi. Namun yang Peter tahu adalah, apapun yang dia lakukan dan katakan, orang seperti Bumi tak mungkin akan melepaskannya. Peter menyerah soal keajaiban, yang ingin ia lakukan saat ini adalah memancing amarah Bumi.
YOU ARE READING
A SECRET [POOHPAVEL]
Fanfiction"Berlututlah sebelum timah panas ini menembus kepalamu" ~Peter Jayden