Alarm sudah berbunyi, dan lagi-lagi dengan mata segar Lisa berdiri menyambut hari yang sudah pagi. Kalau ditanya bagaimana kabarnya hari ini, mungkin ia akan menjawab 'baik' dengan kantung mata yang terlihat jelas di wajahnya kali ini.
Tidak percaya?
Buktinya disaat alarm berbunyi, bukannya langsung ke kamar mandi, ia malah menelpon dua temannya yang lain dengan penuh semangat. Mata lelah kurang tidurnya menggebu-gebu, lalu pada saat getaran HP nya terhenti, ia tersenyum saat mendengar dua suara temannya yang kini sedang misuh-misuh kepadanya.
"Alarm gue masih ada 10 menit lagi ya, tai."
"Makasih udah bangunin gue, gue lupa pasang alarm. Tapi please, lain kali agak siangan dikit aja banguninnya."
Lisa mencibir mereka berdua, terkekeh saat mendengar Chaeng yang lupa memasang alarm. Emang udah paling bener hanya ia yang rajin disini.
"Mau ngasih tau doang, tadi jam 2 dini hari Jennie ke rumah gua."
"What?!"
"Demi? Ngapain anjir?"
"Dia mau lurusin masalah kita kemarin."
Lisa berjalan kearah lemari pakaiannya sambil menjepit HP nya di telinga dengan pundak kanan. Sedangkan tangannya sibuk mengambil seragam hari ini dan menyusunnya di kasur.
"Masalah lo confess ke dia waktu itu?"
Tanya Jisoo, yang hanya dibalas deheman kecil oleh empunya.
"Sekarang udah selesai? Please banget udahan, gue kangen makan seblak berempat."
"Gak tau ya, kata Jennie sih udah. Gua juga akan berusaha biasa aja, gak kayak hari-hari kemarin. Sorry guys bikin kalian merasa gak enak..."
Terdengar suara kekehan Chaeng dan deheman Jisoo, membuat rasa bersalahnya yang beberapa hari ini berada di dadanya, kini perlahan terangkat hilang.
Lalu dengan satu tarikan nafas, ia mengambil HP dari jepitan pundaknya, mengatakan sesuatu sebelum akhirnya mematikan telpon sepihak. Berjalan dengan cepat ke kamar mandi saat melirik jam di meja nakas samping kasurnya.
"Bye mau mandi!" Katanya tadi.
◇◇◇
Bahkan diantara kerumunan banyaknya orang yang berada di lorong sekolah, matanya masih bisa menemukan seseorang yang tadi dini hari ia temui di rumahnya. Matanya memicing saat melihat orang itu pergi dengan menggenggam tangan pacarnya.
Kini hatinya menimbang sebuah pilihan.
'Ikutin, atau gak usah ya?'
Pada akhirnya pilihan untuk mengikuti mereka dari belakang menjadi pilihan utama. Dengan cepat takut terlambat, langkahnya mengikuti mereka yang berujung membawanya ke rooftop sekolah.
Lisa berdecih saat pintu di depannya tertutup, lalu dengan sangat hati-hati ia membuka pintu itu sedikit, cukup untuk mengintip Jennie dan Radit yang kini sedang berhadapan.
"Maaf dit, aku udah berusaha untuk suka sama kamu sebagai pacar, tapi semakin lama kita jalanin, semakin aku sadar juga kalo kamu gak bisa lebih dari sekedar teman."
"Maaf, aku mau kita udahin hubungan kita, aku mau putus dit."
Radit tersenyum, lalu mengangguk. Tak bisa ia pungkiri bahwa hatinya sangat sakit sekarang, tapi mau bagaimna lagi? Wanita yang ia suka tak menyukainya balik, usahanya selama ini sampai berhasil memiliki wanita di hadapan nya walau sesaat pun tak kunjung bekerja.
Pada akhirnya yang hanya bisa ia lakukan adalah menatap Jennie tulus, mengeratkan genggaman tangan Jennie, lalu terkekeh sejenak.
"Iya, aku sadar kok. Maaf ya usaha ku mungkin kurang dimata kamu."