{04} • Perkenalan Desember
"Yang kita kenal sekarang, belum tentu tetap dia di kemudian hari"
꒷︶꒷꒥꒷‧₊˚꒷︶꒷꒥꒷‧₊˚
incoming audio call from Mama…
“Hallo, Ma. Mama kenapa? semalem baik-baik aja kan? Mama ada masalah lagi sama Dalila? Tapi udah damai kan? gimana ceritanya?” Tanpa sadar aku menyerang Mama dengan berbagai pertanyaan di benakku.
“Pelan-pelan dulu, kak” Sahut Mama.
Dari balik ponsel aku menyengir, menampakkan deretan gigi ku. “Jelasin, Ma” pintaku.
“Mama semalam cuma ada keributan kecil dengan Dalila, nggak usah khawatir kak, semuanya udah sering terjadi sama Mama. Udah ya, kakak nggak usah khawatir lagi soal Mama disini. Semua nya udah kembali kondusif.”
Syukurlah, aku sedikit lega mendengar penuturan dari Mama. “Yakin udah damai? Nah iya, jadi selama ini alasan Shinta pindah kesini tuh karena Dalila juga ya, Ma?”
Terdengar hembusan nafas Mama di balik sambungan kami “Pertanyaan kakak belum sempat terjawab. Mama juga baru tau tentang ini nak, pindah nya kamu ke Blora memang atas kemauan Dalila”
Aku sudah menduga tentang ini. Menyebalkan. Dalila sialan!
“Tetap tenang disana, ini demi kebaikan kamu juga. Jangan pernah sekali pun pulang ke Jakarta sebelum SMA mu selesai”
Itu kalimat terakhir Mama sebelum sambungan telepon kami benar-benae diputus secara sepihak, aku mengembalikan ponselku ke saku. Kemudian menatap kosong langit fajar dari bawah rimbun pohon mangga.
Rupanya alasan aku pindah ke kota ini adalah Dalila, ia yang menghasut Papa agar bisa lebih leluasa menguasai Papa ku. Karena satu hal, aku penghalang terbesar nya selama ini. Aku masih tak habis pikir mengenai itu.
Aku memiringkan kepalaku, menghembuskan nafas secara perlahan dan teratur. Di sebuah kursi semen kini aku duduk, di bawah pohon dengan beberapa jajanan pasar tradisional yang ada di kresek plastik dalam genggaman tangan ku.
Pagi ini aku memang sengaja ikut dengan Tante Sahara pergi ke pasar tradisional yang dekat dengan rumahnya. Pasar ini cukup kecil, hanya ada puluhan penjual sayuran dan beberapa lainnya menjual jajanan atau bahkan pakaian sekalipun.
Tapi aku sedang tak berminat untuk berkeliling pagi ini, jadi aku lebih memilih duduk di kursi tak jauh dari para penjual-penjual disini. Kepalaku pusing juga rasanya, karena memang benar sedari semalam aku tak tidur.
“Saskara, ayo muleh”
[Saskara, ayo pulang]
Aku menoleh saat mendengar suara itu di sekitarku, suara seorang laki-laki sebayaku kepada adik nya. Ia memegang setir sepeda tua berkarat yang ia parkir di batang pohon mangga dimana Aku juga duduk membelakangi sepeda tersebut.
“Nggih, Mas” bocah laki-laki itu melangkah menghampiri kakaknya
[iya, mas]
Dengan senyum nya yang menyentuh hati, tangan kusam milik sang kakak perlahan terulur mengusap rambut kering bocah kecil di hadapannya. Mataku berkaca entah mengapa, tapi ada serpihan rasa ingin di balik hatiku. Andai aku dan Bening juga seperti mereka.
“Amit, Mbak. Minggir sekedap nggih!”
[Permisi, Mbak. Minggir sebentar ya]
Seperti yang kalian ketahui, aku tidak mengerti bahasa dari kalimat yang ia ucapkan kini. Aku hanya menatapnya dengan kepala yang sedikit miring dan dahi yang mengkerut.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARALOKA BLORA {REVISI}
Teen FictionPROSES REVISI!!! Aturannya, jangan jatuh cinta di Blora jika tak siap dengan kenangannya. Sayangnya aku melanggar itu semua, cinta pertama ku di sana, di kota Blora. Dan mungkin jadi yang terakhir. Berlayar panjang, aku berlabuh pada hatinya. Rade...