{17} • Kepingan Lara
“Tapi nggak semua anak dapat jawabannya, kebanyakan dari kami hilang arah bersamaan dengan hilangnya peran orang tua, Tante.”
- Shinta Aimara.
Tidak ada yang bisa aku lakukan pada malam minggu ini, membuatku merasa sangat bosan sekarang. Bahkan sepertinya ponsel Arimbi enggan aktif sedari tadi, aku sungguh berada pada titik bosan sebenarnya.
Lalu, aku yang tengah berbaring di atas kasur dengan memandang langit-langit kamar, mulai menoleh sedikit ke meja di sebelah kiri ranjangku. Berantakan, ya, merapikannya mungkin bukan suatu pilihan yang buruk.
Kedua kaki ku melangkah turun dan menyentuh dinginnya lantai. Yang pertama aku sentuh adalah buku-buku pelajaran ku, aku merapikannya lalu meletakkan semua nya ke dalam tempat seharusnya.
Begitu terus hingga sampai pada detail-detail kecil hingga meja berukuran sedang itu sungguh terlihat rapi sekarang. Aku tersenyum simpul melihat hasil kerjaku malam itu.
“Laci, aku nyimpen apa aja sih di laci ini? Kayaknya jarang banget aku buka” gumamku.
“Beresin sekalian,” lanjut ku, sembari jari-jari tangan kanan ku meraba dan menarik laci itu.
Kosong, hanya ada secarik surat. Dan mungkin aku harus menggali ingatan ku lebih dalam untuk mengingat apa isinya.
Tapi, jika ditelisik lebih jauh, bukan aku penulis surat itu. Melainkan Mahesa, ya, ini surat milik Mahesa yang belum sempat aku sampaikan pada Tante Sahara.
“Tante…”
“Tante!!”
“TANTE.”
“Di dapur, sayang! Ada apa?” sahut Tante Sahara dari kejauhan.
Aku segera menyusul Tante Sahara ke dapur, di depan meja makan itu kini wanita paruh baya itu sedang menyeruput sedikit demi sedikit teh hangat nya sembari membaca majalah.
“Surat, dari anak Tante.” aku menyodorkan kertas itu, kemudian bergabung dengan duduk disamping Tante Sahara.
Tante Sahara meletakkan majalahnya di atas meja, lalu membuka lipatan surat itu dengan kebingungan. “Surat apa ini, Nduk?”
“Baca aja, Tan. Aku juga nggak tau secara keseluruhan, setelah itu ada hal yang mau aku tanyakan ke Tante.” ujarku.
“Tanya saja, ndak apa-apa. Toh, Tante tau kalau banyak yang bikin kamu penasaran soal kehidupan keluarga Tante, dan itu semua panjang ceritanya,” Tante Sahara tersenyum sumir.
“Tante baca, ya,”
Semenit, kemudian bertambah menjadi dua, kemudian tiga. Kedua netra indah Tante Sahara mulai berkaca dan basah oleh cairan bening yang sering manusia sebut sebagai air mata. Kata Mama dulu, naluri dan perasaan wanita sebagai seorang Ibu itu nyata terhadap anaknya. Ibu itu perasa yang peka.
“Udah,” aku melihat Tante Sahara melipat kembali kertas itu, “Tante nggak kuat lanjutin baca sampai akhir, Ta. Mustahil buat kuatin hati Tante, Tante rindu sama anak laki-laki Tante.”
“Maaf sebelumnya ya, Tante. Tapi kenapa Mahesa bisa beda tempat tinggal sama kalian berdua?”
“Panjang, Nduk! Mahesa ini tipe anak laki-laki yang bandel, makin dewasa kelakuan dia makin nggak bisa dimaklumi. Akhirnya Om kamu mengambil keputusan untuk membiarkan dia hidup sendiri, dia diberi rumah yang nggak terlalu jauh. Harapannya bisa buat dia mandiri dan keluar dari kasus pembullyan.” Tante Sahara menghela nafas “Tapi, nyatanya nggak ada yang berubah dari anak laki-laki itu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARALOKA BLORA {REVISI}
Teen FictionPROSES REVISI!!! Aturannya, jangan jatuh cinta di Blora jika tak siap dengan kenangannya. Sayangnya aku melanggar itu semua, cinta pertama ku di sana, di kota Blora. Dan mungkin jadi yang terakhir. Berlayar panjang, aku berlabuh pada hatinya. Rade...