{16} • Falling in love?

30 5 1
                                    


{16} • Falling ini love?

"Akan ada keajaiban meski itu mustahil, apa lagi hanya sekedar mungkin, semua bisa berubah!"

- Arimbi


---

Terimakasih, kata yang sungguh ingin aku ucapkan pada yang memberi kesempatan hidup padaku, dan memberikan pula sebuah kesempatan baik untuk mengenal Raden Sandyakala. Tentunya, dalam hidup yang begitu singkat episodenya.

Pertemanan kita masih bertalu pada ketidakjelasan jawabannya. Aku hanya seorang yang pernah menolongnya, lalu ia memberikan timbal balik padaku. Mungkin, menurutnya seperti itu.

Namun aku? justru terjebak dalam lingkar perasaan ku sendiri, siapa yang mengerti, perbedaan empati dan rasa kasih. Atau, justru menjadi cinta? Mustahil

“Bayar hutang, Mas!” seruku padanya.

Ia nampak kebingungan, itu tercetak jelas saat kedua alis tebal nya hampir bertaut “Hutang apa maksud kamu, Ta. Aku punya hutang sana kamu, ya?”

Aku mengangguk “Banyak malah, kamu udah janji lho!”

“Yang mana sih?” suaranya lirih, ia berucap sembari menatap mataku lekat.

Aku menggeser sebuah kursi kosong, dan duduk di sebelahnya. Di jam istirahat hari sabtu kali ini, alih-alih keluar bersama Arimbi untuk ke kantin, aku justru membiarkan ia sendirian lalu aku kemari tanpa rasa bersalah.

“Itu lho, yang pas di rumah sakit. Katanya bakal ngajarin aku matematika, kan?”

Raden mengangguk beberapa kali “Iya, aku inget, mau aku ajarin kapan?”

“Kamu bisa nya kapan? Eh, Mas. Aku juga kemarin minta diajarin bikin jajan pasar itu ya!”

Kekehan ringan terdengar di telingaku, hatiku menghangat saat menyaksikan tawa itu melukis wajah Raden. “Inget aja kamu, sebenarnya kapan aja aku bisa kok, aku usahain.” ucapnya.

“Besok aja gimana? kan Minggu, bosen juga aku dirumah, nggak ada temennya!”

Ia tersenyum, lalu sejenak jari-jarinya merapikan rambut ku yang menutupi sebagian wajah. “Kan ada Mahesa, kamu bisa ajak jalan-jalan dia pas hari libur.”

Decakan keluar begitu saja dari bibirku “Nggak berfaedah, Mas. Nanti dilabrak lagi aku sama ceweknya, si Nandhini itu”

“Kamu nggak jajan, Mas?” tanyaku, ia menggeleng.

“Nggak,”

“Kenapa, nggak laper?”

Seketika, belum sempat Raden mengeluarkan suaranya. Bel SMA Brawijaya memberitahukan seisi sekolah untuk kembali ke kelas masing-masing dan memulai pelajaran berikutnya setelah istirahat.

“Tuh, bel. Sana ke kelas lagi, belajar!” titah Raden padaku.

“Ngusir aku?”

Raden menggeleng “Nggak, Shinta. Nggak gitu, takutnya nanti telat masuk kelas, kita ngobrol lagi besok, ya. Sekarang masuk kelas dulu,”

Aku menerbitkan senyum setelahnya, kemudian berjalan keluar kelas dan melewati koridor untuk menuju kelasku, yang tak jauh dari kelas Raden. Karena memang satu kejuruan berada di satu jalur yang sama.

Langkahku bergerak dengan riang menginjak tiap ubin lantai yang berada di bawahku. Hari ini cuaca cerah, tak biasanya seperti hari-hari sebelumnya. Langit yang murung seolah bahagia kembali.

ASMARALOKA BLORA {REVISI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang