{11} • Dia, masih berhak hidup.

28 6 1
                                    



{11} • Dia, masih berhak hidup.

"Dia juga seorang anak yang punya ibu, dia manusia yang masih punya mimpi. Intinya, dia masih berhak hidup"

--

Entah dengan kebaikan Tuhan yang bagaimana, kamar mandi usang Brawijata yang terkunci rapat dapat dibuka meski melewati sebuah fase berliku-liku di bawah mendung sore tadi.

Tiga jam lalu, aku menemukannya bersimbah darah. Penuh luka-luka dan bersandar lemah pada dinding kamar mandi yang lembab nan dingin. Se menyedihkan itu.

Dengan bantuan satpam sekolah ku, aku dapat segera memberikan bantuan pada lelaki yang kini tak sadar kan diri. Raden, benar-benar belum sadarkan diri hingga waktu malam tiba.

Dia berada di ruangan Instalasi Gawat Darurat. Lalu, kini bagian ku untuk menangis terisak di bawah rengkuhan Arimbi pada ruang tunggu. Tangis ku disamarkan oleh suara riuh nya hujan di luar sana.

“Ar, dia selamat ‘kan?” tanyaku penuh harap.

Punggungku diusap “Pasti, Ta.”

Hanya kata-kata penenang, tapi aku percaya. Setidaknya akan ada secercah keyakinan lagi bila aku bisa menyelamatkan nya.

Aku tidak begitu mengenalnya.

Aku baru beberapa kali bertemu dengannya.

Aku tidak dekat dengan nya.

Tapi Aku punya tujuan besar untuk menyelamatkan nya, kata hati ku begitu. Ia harus aku selamatkan, rasa kasihan dan empati mendominasi diriku.

Ponsel ku berdering singkat, lalu berhenti lagi. Aku mengangkat kepala, mencari benda pipih yang memunculkan sinyal telepon beberapa detik lalu.

“Halo?” ucapku dengan parau.

Hembusan nafas lembut aku dengar dari ujung sana “Kamu kemana, nak? Tante udah nungguin kamu pulang sekolah dari tadi siang”

“Apa ada kendala di sana?” lanjutnya.

“Tante…” kataku, air mataku lagi-lagi menetes.

Di ujung sana, tante Sahara terdengar panik “Kenapa, Shinta. Ada apa disana? Jelasin sama tante” pintanya.

“Aku nggak bisa jelasin, Tan. Tante bisa kesini nggak?”

“Kirim lokasinya, nak. Tante kesana langsung”

Sambungan yang diputus secara sepihak menjadi pemutus dialog antara kami. Aku yang masih kalut dan tak bisa berhenti menangis sejak tadi hanya mencari ketenangan lewat pelukan yang Arimbi berikan.

Dingin nya malam menjadi teman, ketika aku menangis hanya karena takut akan suatu hal terkutuk yang orang sebut sebagai sebuah kematian. Aku hanya ingin perjuangkan kebahagiaannya, aku tau ada keluarga yang menunggu nya pulang.

Aku tau dia punya seorang adik yang menanti sapaan lembut tangan kakak nya di rambut kering nya. Peran nya masih dibutuhkan banyak orang, dia masih punya banyak hal yang harus diselesaikan di kehidupan nya. Intinya, dia masih berhak hidup.

Melalui kaca transparan aku melihat ia dengan mata tertutup, terbaring lemah dalam brankar. Bayang-bayang kematian nya terus menghantui ku, semoga saja tidak terjadi, aku mohon jangan.

“Raden… Jika bukan karena keluargamu, bertahan hidup karena aku ya. Akan aku hukum seluruh hidupku jika kamu tak berhasil selamat”

꒷︶꒷꒥꒷‧₊˚꒷︶꒷꒥꒷‧₊˚

"Heh jancok, balekno buku ku asu”

[Heh sialan, kembalikan buku ku anjing]

“Jupuk dewe”

[Ambil sendiri]

Keriuhan ruangan ujian benar-benar membuat siapapun akan menutup telinganya, pelakunya bisa kalian tebak siapa. Sudah pasti, sangat jelas bahwa mereka adalah Mahesa, Najendra dan Sadewa.

Aku melangkahkan kakiku pada gerbang Brawijaya. Dengan mata sembab dan berantakan, semua orang mengarahkan pandangan nya padaku. Cukup tau mengapa mereka kebingungan, alasan nya ada padaku.

Aku tidak peduli.

Kakiku seakan melangkah dengan sendirinya ke arah ruangan ujian ku berada. Saat itu pintu tertutup, tapi dengan jelas aku dapat mendengar keributan yang tercipta di dalam sana.

Brak!

Pintu terbanting dengan kuat oleh tenaga ku, semua orang di dalam sana terdiam seketika. Lagi-lagi aku tidak peduli tentang itu, aku menuju ke tempat duduk ku dengan segera.

Jika setelah ini aku menjadi bahan omongan oleh mereka ─mayoritas murid yang tak aku kenal di Brawijaya. Aku tak peduli.

Tas milikku kini terletak sempurna di kursi kayu tempatku duduk. Dengan nafas memburu aku memgahmpiri nya, mereka bertiga yang berkumpul gak jauh dari tempat ku berdiri saat ini.

“Bajingan!”

Umpatku, bersamaan dengan gerakan tangan ku ketika menampar wajah nya dengan kuat.

“Otak kalian bertiga fungsi nya apa sih? AKU TANYA KE KALIAN FUNGSI OTAK KALIAN ITU SEBENAR NYA APA?”

Diriku menjadi pusat perhatian, tatapan mereka yang ada dihadapanku juga seakan menghunuskan tatapan mengerikan nya.

Masih dengan amarah ku yang berapi-api “Kalian emang nggak mikir? Kenapa dengan seenaknya kalian-”

“Kalian permainkan nyawanya…”

Aku terisak, dan bersusah payah menopang tubuhku yang sudah sangat sulit untuk aku usahakan tetap berdiri di detik-detik ini.

“R-raden juga seorang kakak, dia punya adik. Dia seorang manusia, yang juga masih punya mimpi”

“Kenapa jahat sekali kalian ingin renggut hak nya untuk hidup..…”

Kami beradu tatapan, mereka yang diam membuatku ingin semakin mengeluarkan amarah ku yang menggebu-gebu. Nafas ku gak beraturan, seiringan dengan air mataku yang menetes, dan tubuhku yang melemah.

“Maaf,”

“PERCUMA SADEWA PERCUMA!”

Ia tersentak, sejujurnya aku juga cukup kaget melihat sadewa yang tak terlalu banyak bicara justru kali ini meminta maaf lebih dulu dibanding yang lainnya

“Hati kalian ada dimana, fungsikan dengan semestinya, tolong. Kalian disini bisa bernafas dengan lega, sementara kemarin kalian, k-kenapa nggak izinin dia bernafas seperti kalian sekarang?”

“Nyawa dia hampir nggak selamat, dan itu karena kalian!”

Aku menatap Mahesa “Kamu!” ucapku. “Minta maaf ke Raden,”

Diriku kalut, isi pikiran ku hanya di batang-bayangi dia. Aku seakan di hantui oleh dirinya yang terbaring lemah dengan luka di sekujur tubuhnya, dia hanya mencari ketenangan nya.

“KALIAN BENER-BENER NGGAK PUNYA HATI, KALIAN BUKAN MANUSIA, KEJI, KALIAN ITU MENJIJIKKAN?!!”

Kakiku benar-benar tak mampu lagi menopang berat tubuhku, tepat setelah aku menyelesaikan kalimat ku, tubuhku ambruk. Rok abu-abu selutut yang aku kenalan tepat mengenai lantai, aku menatap mereka dengan mata sembab ku.

Entah apa, ada sesuatu mengganjal di kerongkongan ku yang enggan aku telan bulat-bulat. Aku kesusahan bicara.

“He, d-dia manusia. Aku mohon… jangan perlakukan dia seakan hanya hiburan,”

Aku menyatukan telapak tangan ku di depan dada “Jangan perlakukan dia kaya gini lagi... A-aku mohon sama kalian, dia punya hak buat bahagia─”

꒷︶꒷꒥꒷‧₊˚꒷︶꒷꒥꒷‧₊˚

•211024 | written by bubblesparlks.

Cepat sekali, sudah chapter 11. Selamat berselancar di lautan bubble!

- Jangan lupa vote and comment

ASMARALOKA BLORA {REVISI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang