.
{10} • Bantuan
"Kenal atau tidak, membantu tidak ada salahnya"
----
“Maaf, sebelumnya ada yang tahu keberadaannya Raden Sandyakala? peserta Ujian nomor urut dua puluh satu?”
Seisi kelas kompak menggeleng, aku pun begitu. Meski familiar dengan sosok nya, aku tak seribut yang lain. Mereka celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri, membicarakan suatu hal tak penting untuk di dengar.
“Halah, bolos kayak'e”
“Ora mungkin, bocah se jenius Raden kok bolos”
“Cuma telat iku, wes mengko yo mlebu”
Kali ini aku hanya menyimpan penasaran ku dalam hati, bertanya dalam batin akan keberadaannya. Bukan apa-apa, Raden itu murid pintar yang sangat dijunjung oleh para guru-guru Barawijaya, mustahil dia membolos apalagi saat Ujian seperti ini ‘kan?
Aku menggeleng pelan, menepis semua hal tentang Raden di pikiranku, mungkin dia hanya terlambat masuk ruangan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tenang saja. pikir ku.
“Sudah sudah! diam semua nya.”
Sontak ruangan nya ramai akan bisikan-bisikan tidak jelas itu kini menjadi hening. Semua nya duduk dengan rapi di tempat duduk nya masing-masing. Termasuk Shinta Yang beruntung mendapatkan kursi yang berada dekat dengan jendela. Membuatnya leluasa memperhatikan dunia luar saat bosan.
Guru wanita pengawas ruangan hari ini memutar dari baris paling kiri ke baris paling kanan. Mereka semua tak berani berkutik, dan memilih langsung mengerjakan ujian ketika lembar soal dan jawaban diberikan.
“Di cek ora, Sa?”
“Ora usah, wes ndang di garap ujiane”
[Nggak usah, udah cepet di kerjain ujiannya]
Aku menggeleng, saat bisikan dari bangku belakangku terdengar. Sudah Aku duga-duga sebelumnya, hari seperti ini akan sering terjadi saat ada di ruangan yang terdapat manusia seperti Raden, Mahesa, dan Najendra. Sial!
Hidupku tak tenang karena dia, berandai jika aku seakan landak kesepian. Tak punya teman yang bisa membuat hari ku tersenyum lagi, mungkin ini sangat berlebihan, iya ‘kan? Tapi memang begitu yang aku rasakan.
Ah, gila. Kenapa aku terus memikirkannya, ayolah aku harus fokus pada ujian ku saat ini, bukan memikirkan sesuatu tak penting, pikiran tentangnya harus aku singkirkan secepatnya.
“Ta,”
“Shinta Aimara”
“TA!”
Semua nya menoleh ke arahku, bukan, lebih tepatnya dia yang di belakangku, Mahesa. Sial, ia kenapa berisik sekali, sih. Sekarang tinggal kita tunggu kemurkaan guru pengawas ujian di depan sana sebentar lagi. Satu, dua, dan-
“Jangan membuat keributan, atau silahkan keluar dari ruangan ujian ini. Se-ka-rang!” tekan guru wanita di depan sana.
Lihat, bahkan hitungan ku belum sepenuhnya selesai. Aku secara diam-diam mengeluarkan kaca kecil dari kolong mejaku, aku angkat dan letakkan menghadap ke wajah Mahesa agar kami bisa berinteraksi.
“Ada apa sih?” tanyaku, tanpa berbalik sedikitpun pada Mahesa.
Lama tak ada jawaban, hingga aku berdecak “Ck, aneh”
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARALOKA BLORA {REVISI}
Teen FictionPROSES REVISI!!! Aturannya, jangan jatuh cinta di Blora jika tak siap dengan kenangannya. Sayangnya aku melanggar itu semua, cinta pertama ku di sana, di kota Blora. Dan mungkin jadi yang terakhir. Berlayar panjang, aku berlabuh pada hatinya. Rade...