{15} • Mari berteman.

17 5 0
                                    

{15} • Mari berteman.

“Aku nggak tau sampai kapan aku tetap akan hadir, Ta. Semua manusia akan menemui titik kepulangannya masing-masing”

--

Seminggu sejak hari itu. Dan, sesuai prediksi. Namaku benar-benar menjadi trending topic di kalangan siswa maupun siswi SMA Brawijaya, di siang yang seharusnya tenang, aku bahkan telah mendengar puluhan gunjingan mereka semua. Memuakkan!

Nandhini benar-benar membawa perubahan besar untuk pandangan orang-orang padaku. Aku bukan perempuan seperti itu! Mereka semua terlalu cepat menyimpulkan dan mengesampingkan informasi yang sebenarnya.

“Nggak pa-pa, Shinta. Yang mereka bicarakan nggak benar, mereka semua juga akan diam jika tau faktanya kayak gimana” ucap Arimbi menenangkanku.

Aku menghela nafas gusar “Tapi gimana caranya biar mereka tau fakta itu, Ar. Aku nggak sekuat itu buat denger semua makian mereka ke aku”

“Ada masa nya, Ta. Udah, ya. Nggak akan kamu kayak gini selamanya, yang benar pasti akan menang” punggungku diusap dengan lembut oleh tangannya.

“Aku trauma…” lirih ku.

Arimbi tampak mengernyit bingung, ia menghentikan pergerakan tangannya dan menatapku intens.

Aku mengangguk “Semua murid-murid di SMA ku dulu juga kayak gini ke aku, Ar. Mereka semua maki-maki aku karna kesalahan Papa yang nggak aku mengerti sama sekali saat itu. Harapanku, semua bisa mereda di Blora, tapi ternyata enggak! Semua terulang”

Helaan nafas meluncur berkali-kali, dadaku sesak, sangat. Anehnya aku enggan menangis, dan justru hal itulah yang membuatku semakin sesak.

“Tapi kali ini hadapi nya sama aku, Ta. Kamu nggak sendiri, Mahesa juga ada, Najendra, Sadewa. Bahkan Raden sekalipun, semua nya membela kamu!”

Angin-angin saling menyahut, sebagian dari mereka seakan menghampiri kami dan menerbangkan rambutku yang tergerai. Indah, semesta selalu punya cara untuk menghibur kesedihan ku.

Dedaunan tersapu, aku mengikuti alunan ribut itu dengan netraku. Hingga tak sadar aku menatap pada ruang guru, dimana pada ambang pintu aku menyaksikan ia tersenyum padaku. “Raden,” gumamku

“Susul, gih. Aku mau ke kantin” sahut Arimbi, ia mendengar suara lirih ku.

Dengan reflek aku menoleh padanya dengan tatapan sayu, kemudian menatap Raden lagi. Menyuarakan keraguan dalam bisu, bingung pada jalanku.

“Udah, nggak pa-pa. Dia kayaknya juga pengen ketemu kamu, tuh!”

Kedua ujung bibir ku tertarik ke arah berlawanan, senyumku terbit dengan bahagia. Kemudian saat Arimbi berdiri dari duduknya dan mulai melangkah ke tujuannya, aku pun begitu.

Kami berdua melangkah ke arah berlawanan, menuju ke tujuan masing-masing. Arimbi menuju ke kantin, dan aku menghampiri Raden yang masih ada di depan ruang guru, berbincang dengan salah satu guru laki-laki.

“Nggak nyangka lho aku, kok enek murid Brawijaya seng wani-wanine ngono kui. Padahal seng lanang wis duwe pacar, nggateli”

[Nggak nyangka lho aku, kok ada murid Brawijaya yang berani-berani nya kaya gitu. Padahal yang cowok udah punya pacar, gatel]

Aku tersentak, dan menoleh ke arah mereka berdua secara spontan. Aku memandang mereka dari bawah ke atas, menelisik mereka, menaruh curiga atas pembicaraan mereka tadi. Meski aku tau mengerti bahasa nya, namun sedikit perasaan ku bekerja, mengatakan bahwa akulah yang dimaksud mereka.

ASMARALOKA BLORA {REVISI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang