{07} • Hujan Serta Angin

25 9 3
                                    


{07} • Hujan Serta Angin.

"Padahal sejatinya mereka tahu, hidup tak selamanya diatas, pun tak selamanya berada di bawah."

---

Hujan dan Angin sejatinya berteman. Dan, mungkin pada beberapa makhluk mengharapkan damainya hujan yang membawa ketenangan, bukan ribut nya angin. Padahal mereka tahu, badai tak pernah memisahkan angin dan hujan.

Sama halnya dengan para bangsat-bangsat di kehidupan yang enggan berjalan pada roda berputar. Padahal sejatinya mereka tahu, hidup tak selamanya diatas, pun tak selamanya berada di bawah. Punya wewenang apa mereka ingin melawan takdir pencipta?

Raden Sandyakala, malam ini kembali pada hidupnya yang sunyi nan sepi. Bedanya malam ini, meski hujan enggan berhenti. Ia tak seantusias biasanya dalam menyambut hujan yang ia kata membawa tenang nya yang hilang.

“Nilai kamu menurun lagi, Le. Kalau begini terus pihak sekolah bisa cabut beasiswa kamu!”

Huh!

Matanya terpejam, serat-serat kain pada ranjang seakan menuntunnya dalam dunia kegelapan. Penuh bayangan yang menyelinap dan menghantui pikirannya.

Dia butuh sekolah, tapi ia tak serba punya seperti kebanyakan mereka. Bisa apa? Tangannya yang semula mengusap rambut Saskara yang tengah tertidur, kini ia lepas.

Suara hujan seakan berubah menjadi suara-suara dan sekitar menjadi seakan bayangan-bayangan apa yang pernah singgah di hidupnya. Dalam penglihatan dan pendengarannya.

“Raden isih sanggup kan, bu?”

Ia membenci saat dimana kalimat ini singgah pada pikirannya, sulit ia tepis. Namun kadang kali ia berpikir Bagaimana jika aku mati? Apa yang terjadi?

Akankah ada manusia yang menangisi kepergiannya, atau mungkin bagi mereka sosok yang meninggalkan mereka pada hari ini hanya bagaikan satu daun gugur diantara jutaan daun-daun lainnya.

Namun pada pilihan hidup Raden, hanya ada dua. Bertahan, atau meninggalkan.

Ia memandang gores-gores pada tangannya, bukan ia yang sengaja. Mungkin para pecundang yang menjadikan nya hiburan tak bermakna, siksaan mereka mengapa tak cukup untuk mengantarnya pada pencipta.

“Raden nyerah nggih, bu?” lancangnya setetes cairan bening mengalir dari ujung netra nya.

Dahulu dalam mimpinya tidak begini. Kadang kali ia berharap punya teman saat melihat yang lainnya bercanda tawa, bukan menjadi seorang lemah  yang ditindas setiap harinya.

Rindu pada Ibu sudah pasti. Raden ingin mati, dipikirannya semua bisa menjadi lebih baik jika ia mati. Tapi, ia hanya takut. Bukan takut mati, hanya takut kemana ia akan pergi setelah mati. Akankah kembali bahagia, atau justru semakin tersiksa, manusia hidup mana yang tahu kehidupan setelah tiada? Tidak satupun!

Ia berdiri, menatap sekeliling dinding kayunya yang rapuh. Mengambil sehelai kain dan semangkuk air bersih, kemudian kembali duduk di ruang tamu dan membersihkan luka-luka di badannya.

Setiap malam pun begitu, mulia hatinya tak pernah membenci Mahesa, Najendra, atau Sadewa sekalipun.

“Sakit, bu” lirihnya.

Ia menyandarkan kepalanya pada kursi, matanya terpejam menikmati sebuah perih menjalar di antara kulit dan dan darah-darah segar yang keluar di kulitnya yang terluka.

Sampai kapan terus seperti ini? Mungkin angin pun geram melihatnya yang memendam semuanya sendirian, manusia aneh.

Si aneh yang terluka, andai saja ia orang berada. Akankah semua manusia seperti ini padanya? Dunia lucu, ya. Uang berkuasa menindas yang tak punya.

ASMARALOKA BLORA {REVISI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang