Bagian 9: Angin

247 44 3
                                    

Boboiboy Fanfiction

© Boboiboy | Animonsta Studio

A/N: seluruh cerita ini merupakan karangan semata dan penulis tidak mengambil keuntungan dari penulisan cerita ini. Apabila ada kesamaan ide, nama tokoh atau tempat, semua itu murni ketidaksengajaan.

≫ ──── ≪•◦ ❈ ◦•≫ ──── ≪

2 hari di dalam hutan dan sehari lagi melewati beberapa pedesaan hingga kami akhirnya tiba di Gunung Vintara. Itu adalah gunung yang sangat tinggi dan bagian puncaknya tertutupi oleh kabut. Sungguh tempat yang cocok untuk kuil dari Dewi Angin. Kami tak langsung mendaki gunung tersebut, kuda-kuda perlu beristirahat begitu juga dengan para prajurit. Kami beristirahat di kaki gunung. Kali ini tak perlu mendirikan kemah karena kami tak akan bermalam di tempat itu. Komandan Pasukan—yang kini aku tau namanya adalah Kaika dan aku sudah berhenti peduli apakah namanya unik atau tidak—mengatakan jika kami harus segera mendaki gunung sebelum malam tiba.

Tempat yang dipilih untuk kami beristirahat berada di dekat Sungai, aku jadi bisa mencuci mukaku setelah hampir dua hari penuh di dalam kereta. Saat tiba di kuil nantinya, aku harap mereka mengijinkanku untuk mandi sebelum mengikuti upacara, tubuhku begitu lengket karena keringat dan aku merasa sangat bau padahal tidak melakukan apapun. Tentu Maripos dan para pelayanku telah mengatakan mereka siap menimba air dari Sungai dan memanaskannya agar aku bisa mandi, tetapi kutegaskan lagi aku tidak ingin merepotkan mereka. Kami di tempat ini karena harus beristirahat sebelum mendaki gunung dan bukan untuk mandi. Lagi pula aku adalah laki-laki, tidak mandi sehari dua hari bukan masalah besar bagiku—terlepas dari tubuhku yang tidak nyaman karenanya.

Saat tengah menikmati air Sungai yang dingin di kakiku, aku mendengar sayup suara kicauan burung. Hal yang benar untuk kulakukan adalah mengabaikan sumber suara itu. Maksudku aku berada di alam bebas dengan lingkungan yang asri, pasti akan ada burung-burung yang membuat sarang atau mencari makan di sekitar sini. Tapi aku sangat bosan karena selama perjalanan ini yang aku lakukan hanyalah duduk membaca buku atau bermain tebak-tebakan bersama Maripos. Akal sehatku berkata jika aku akan mendapat masalah karena hal ini, tetapi rasa penasaranku mengatakan jika aku harus mencari tau burung macam apa yang mengeluarkan suara tersebut.

Aku melirik ke arah Maripos yang sedang berbicara dengan Komandan Kaika, lalu Kapten Fang yang tengah memberi makan kudanya, kemudian pada para prajurit yang sibuk mengobrol dan kedua pelayan yang tengah beristirahat. Tanpa mengenakan sepatuku kembali, aku perlahan mulai berjalan ke sumber suara kicauan burung yang tak henti itu. Terkadang mengendap-endap itu perlu.

Semakin jauh aku berjalan, semakin jelas suara kicauan burung tersebut yang membuatku tau aku berjalan ke arah yang benar. Entah sudah sejauh apa aku berjalan, aku hanya terus melangkah mengikuti sumber suara itu. Pada satu titik, aku akhirnya menyadari kebodohanku. Bukankah aku sudah berjanji pada Maripos untuk tidak pernah meninggalkan sisinya? Dan sekarang disinilah aku berada. Di hutan, tanpa mengenakan alas kaki dan tak tau arah kembali. Maripos akan sangat marah padaku, dan ini pasti tak akan lepas dari telinga Halilintar. Saat aku kembali ke Kerajaan nantinya, Halilintar akan mengomeliku dan mungkin melarangku untuk sendiri tak peduli saat apapun.

Aku memilih untuk duduk pada batu besar sembari menunggu Maripos dan lainnya datang mencariku. Tentu aku tidak dengan konyol mencoba mencari jalanku kembali—aku bisa lebih tersesat jika seperti itu. Sekarang aku harus memikirkan alasan apa yang harus aku berikan pada Maripos agar dia tak begitu marah padaku? Haruskah aku mengatakan jika aku disihir oleh suara kicauan burung yang membuatku pergi meninggalkan mereka? Konyol sekali.

Kemudian, kembali kudengar kicauan burung seperti sebelumnya. Kali ini suaranya begitu jelas, seolah burung itu ada di dekatku. Mendadak aku berdiri, mendongakkan kepalaku ke langit untuk mencoba mencari burung macam apa yang sudah mengeluarkan suara itu dan menuntunku ke tempat ini. Pada dahan-dahan pohon yang tinggi menjulang, tak seekorpun burung kutemukan. Memang ada beberapa tupai yang memperhatikanku—mereka mungkin berpikir aku adalah manusia yang menyedihkan, sendirian di hutan ini. Aneh, suara yang begitu jelas tetapi aku tak melihat seekor pun burung.

Di Bawah Langit yang SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang