⓿⃢❷ ; 1873

102 19 5
                                    



























































Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
























































"Silahkan masuk!" Seru seorang pria setelah membukakan pintu pada sang gadis. Begitu melangkah masuk, [Name] langsung disambut baik oleh keluarga pemilik rumah.

Hachnasat orchim. Mereka sedang mengamalkan tradisi Yahudi yang dijunjung tinggi sejak dulu, yaitu memuliakan tamu –yang juga bagian dari kegiatan amal yang biasa dilakukan masyarakat Yahudi di Jerman Selatan pada Kamis malam menjelang jum'at.

Secara garis besar, tradisi ini sudah dilakukan mereka sejak lama. Mereka mengundang makan seorang Yahudi miskin pada hari yang telah ditentukan. Terlebih lagi, krisis keuangan dahsyat dunia sedang terjadi di tahun 1873.

Mengundang seseorang untuk makan adalah bagian dari kewajiban moral dalam komunitas Yahudi, terutama dalam mendukung mereka yang kurang mampu. Selain itu, dalam tradisi Yahudi, melayani orang lain dan memberi makan orang miskin dianggap sebagai perbuatan suci yang mendekatkan diri pada Tuhan.

[Name] duduk disamping kenalannya yang telah berbaik hati mengundang [Name] makan bersama keluarganya.

Gadis dengan mata mencolok itu mengamati makanan sederhana yang tertata rapi diatas meja makan. Tapi jelas jauh lebih mewah dibandingkan yang biasa [Name] makan.

Mereka makan bersama dengan hangat sambil berbincang dan membicarakan berbagai topik.

[Name] jadi bertanya-tanya bagaimana perasaan manusia normal ketika menerima kebaikan dari orang lain.

Apakah mereka akan bahagia?

Sebenarnya, bahagia itu seperti apa?

[Name] juga ingin merasakannya.





















































































Sebuah taksi berhenti disampingnya sehingga [Name] menoleh bertepatan dengan diturunkannya kaca mobil yang menampilkan seorang pria berusia awal 30an berseragam lengkap, "nona, mau naik taksi, tidak?" Tanyanya.

[Name] menggeleng, "tidak, tuan. Saya berjalan kaki saja karena rumah saya dekat dari sini."

"Tidak baik seorang gadis berpergian malam sendirian. Mau naik taksi, tidak?"

[Name] tetap menggeleng. Sekalipun rumahnya jauh, dia tetap tidak mau naik –karena dia tidak punya uang.

"Yasudah kalau begitu. Hati-hati dijalan, ya, nona." Taksi itu pun kembali melaju.

Supir taksi mengenakan seragam adalah penampakan yang sudah biasa bagi [Name]. Karena krisis keuangan dunia, perusahaan taksi banyak mempertahankan reputasi dan daya saing mereka. Seragam menjadi tanda bahwa sopir taksi memiliki izin resmi dan mematuhi standar tertentu. Juga, seragam memberikan kesan profesional dan dapat dipercaya sehingga dapat menarik pelanggan.
























[Name] meringkuk di atas tumpukan kardus yang ia jadikan alas untuk tidur.

Tempat tinggalnya bahkan tak layak untuk disebut demikian. Sempit, tidak nyaman, lantai dan dinding yang dingin.

"Inilah kenapa aku malas bertahan hidup.." [Name] bergumam, menjadikan tangannya yang terlipat dibelakang kepala sebagai bantal.

"Merepotkan." [Name] menatap cahaya rembulan yang menerobos masuk dari atap yang bolong. "Hanya ada penderitaan." Kemudian menghela nafas panjang kesekian kalinya.

"Aku harus bertahan berapa lama lagi?" Pertanyaan itu mengudara, kemudian menghilang begitu saja, tanpa ada satupun yang tahu jawabannya.



















































"Hampa sekali, hidupku ini."





























TBC➡︎

Redemption [Lookism X Reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang