Bab 2: Peraturan tanpa batas

23 10 5
                                    

TANGAN kiri Aluna meremas tali tas dengan erat, sementara tatapannya tetap terpaku pada pintu di depannya: Ruang Kepala Sekolah. Pintu itu besar, dengan ukiran kayu yang klasik, menunjukkan kesan megah dan formalitas yang kaku. Aluna menarik napas dalam sebelum mengetuk pintu.

"Masuk."

Suaranya tegas, tanpa nada basa-basi. Aluna mendorong pintu dan melangkah masuk. Di balik meja yang besar, duduk seorang pria paruh baya dengan rambut rapi berwarna kelabu, mengenakan jas hitam dan dasi merah. Ia menatap Aluna sejenak, matanya tajam, seperti sedang menilai seseorang di ruang pengadilan.

"Silakan duduk," katanya tanpa banyak basa-basi. Aluna mengikuti arahannya, duduk di kursi berlapis kulit yang nyaman.

"Jadi, kamu murid baru, Berenice Aluna itu?" Sang kepala sekolah membolak-balik berkas di mejanya. "Selamat datang di Nerlangga High School. Saya mendengar kamu termasuk murid yang cerdas."

Aluna hanya mengangguk pelan, masih mencoba membaca situasi di sekitarnya.

"Di sekolah ini, kami menghargai yang terbaik, dan menghukum mereka yang gagal. Di sini, kita tidak ada waktu untuk main-main. Kami memprioritaskan kedisiplinan dan prestasi, dan itu terlihat dari kelas-kelas yang ada di sini. Kamu akan ditempatkan di Kelas Emas, kasta tertinggi."

Mata Aluna sedikit melebar. Kelas Emas. Nama yang sudah pernah ia dengar sebelum masuk ke sekolah ini. Namun, mendengarnya langsung dari kepala sekolah dengan cara seperti itu, membuat jantungnya sedikit berdebar.

"Peraturan di kelas itu ketat. Sangat ketat," lanjutnya. "Tapi itu harga yang harus dibayar untuk menjadi yang terbaik. Kamu paham?"

Aluna tidak menjawab, tapi sorot matanya menunjukkan bahwa dia mengerti. Dia sudah mendengar reputasi sekolah ini. Di balik kecemerlangan akademisnya, Nerlangga High School menyembunyikan sisi gelap yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

"Tapi, ingat ini baik-baik, Aluna. Sekali kamu berada di Kelas Emas, tidak ada jalan keluar. Tidak ada kegagalan yang bisa diterima." Sang kepala sekolah tersenyum dingin, tapi senyuman itu lebih mirip ancaman daripada sambutan.

Aluna merasa bulu kuduknya sedikit meremang, namun ia hanya tersenyum tipis sebelum berdiri. "Baik, Pak. Saya mengerti."

"Bagus. Sekarang, pergi ke kelasmu. Sudah ada guru yang menunggu di sana untuk memperkenalkanmu."

Aluna berdiri, memberikan hormat kecil sebelum melangkah keluar dari ruangan. Kepalanya penuh dengan pikiran tentang apa yang baru saja ia dengar. Kelas Emas. Tempat bagi yang terbaik, tapi juga tempat yang menuntut kesempurnaan tanpa ampun.

"Saya permisi dulu. Mari, Pak."

•••••

Aluna memasuki lobi, lantai marmer hitam mengilap dan pilar-pilar tinggi menyambutnya. Sekelilingnya terasa sunyi, hanya ada suara langkah kaki siswa lain yang terpantul lembut dari lantai. Di sebelah kiri, lift kaca menunggu, tanpa tombol, hanya layar sentuh yang futuristik. Aluna menekan layar menuju lantai lima—kelas tempat dia akan belajar, Kelas Emas.

Saat pintu lift terbuka dan dia masuk, jantungnya sedikit berdebar. Mengapa dia ditempatkan di kelas ini? Kelas yang selalu dibicarakan penuh prestise, tapi juga misterius. Ayahnya hanya berkata ini adalah "kesempatan terbaik," tapi Aluna tidak pernah meminta ini. Apa yang sebenarnya terjadi?

Lift meluncur naik dengan lembut, menampilkan pemandangan koridor-koridor lain yang semakin jauh di bawahnya. Ketika lift mencapai lantai lima, pintunya terbuka perlahan, memperlihatkan lorong yang sepi dan terasa asing. Dinding-dindingnya dihiasi dengan panel kayu mahal, dan di ujung lorong terlihat sebuah pintu besar bertuliskan Kelas Emas.

Jerat Ambisi : Genius Disciples New VersiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang