Bab 9: Debat di ujung Pena

9 2 0
                                    

ALUNA menatap layar ponselnya dengan mata terbelalak. Pesan singkat yang baru saja diterimanya membuat bulu kuduknya meremang.

"Mereka lebih dekat dari yang lo kira."

Jantungnya berdegup kencang. Ini adalah pesan ketiga yang dia terima dari orang asing, semuanya dari nomor yang berbeda. Pesan-pesan sebelumnya juga tidak kalah mengusik:

"Hati-hati, jangan percaya siapapun."

"Rahasia mereka bisa menghancurkanmu."

Aluna meletakkan ponselnya di atas meja belajar, mencoba menenangkan diri. Ruangan kamarnya yang biasanya terasa nyaman kini terasa menekan. Ia menatap sekeliling, memastikan pintu terkunci dan tirai tertutup rapat. Pikirannya berkecamuk, bertanya-tanya siapa yang mengirim pesan-pesan ini dan apa tujuannya.

Aluna mencoba fokus pada buku-buku pelajaran yang terbuka di depannya. Besok akan ada kuis dadakan yang dikabarkan Naura tadi siang. Namun, setiap kali dia mencoba membaca, kata-kata di halaman itu tampak kabur.

"Siapa sebenarnya yang bermain-main dengan gue?" gumamnya pelan.

Aluna berdiri dan berjalan menuju jendela, mengintip melalui celah tirai. Jalanan di depan rumahnya tampak sepi. Hanya ada lampu jalan yang berkelip-kelip dan bayangan pepohonan yang bergoyang diterpa angin malam.

Aluna kembali duduk di meja, memutuskan untuk mengabaikan pesan-pesan itu. "Fokus, Aluna. Lo harus siap buat besok," katanya pada diri sendiri.

Namun, perasaan gelisah itu tak kunjung hilang. Ia mencoba mengerjakan beberapa soal matematika, tetapi pikirannya terus melayang. Akhirnya, dengan frustrasi, ia menutup buku dan merebahkan kepala di atas meja.

Drrtt! Tiba-tiba, ponselnya bergetar lagi. Dengan tangan gemetar, Aluna meraihnya. Sebuah pesan baru muncul:

"Tidur nyenyak, Aluna. Besok akan jadi hari yang panjang."

Aluna merasa merinding. Ia mematikan ponselnya, meletakkannya jauh dari jangkauannya. "Ini nggak bisa dibiarin," pikirnya. "Besok gue harus cari tahu siapa yang ngirim pesan ini."

Dengan perasaan was-was, dia menuju tempat tidur dan berusaha memejamkan mata. Namun, bayangan pesan-pesan itu terus menghantuinya, membuat malamnya terasa begitu panjang.

•••••

Pagi harinya, sinar matahari menembus tirai, membangunkan Aluna dari tidur yang gelisah. Matanya terasa berat, dan kepalanya sedikit pening. Ia bangkit perlahan, mencoba mengumpulkan semangat untuk menghadapi hari.

Setelah mandi dan berpakaian, ia turun ke ruang makan. Di meja, sarapan sudah tersaji rapi--roti panggang, telur setengah matang, dan jus jeruk segar. Ibu tirinya, Sylvia, duduk sambil membaca majalah, secangkir kopi terletak di sampingnya.

"Selamat pagi, Sayang," sapa Sylvia tanpa menoleh.

"Pagi, Ma," jawab Aluna sambil duduk.

"Papa kamu sudah berangkat ke luar kota pagi-pagi sekali. Ada urusan bisnis penting katanya," kata Sylvia dengan nada datar.

Aluna hanya mengangguk. "Oh, oke."

"Kamu kayak pucat. Kurang tidur?" tanya Sylvia sambil menyesap kopinya.

Aluna ragu sejenak. "Iya, sedikit. Ada banyak tugas sekolah."

"Pastikan itu tidak mempengaruhi prestasimu. Keluarga kita tidak mentolerir kegagalan," ucapnya sambil menutup majalah dan menatap Aluna dengan tajam.

"Ya. Aku mengerti," jawab Aluna sambil memaksakan senyum.

Setelah menyelesaikan sarapannya, Aluna berpamitan. "Saya berangkat dulu, Ma."

Jerat Ambisi : Genius Disciples New VersiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang