Bab 5: Sisi Gelap di balik Emas

17 7 2
                                    

LANGKAH kaki Aluna terasa berat saat keluar dari kantin bersama Cakra, dan keempat siswa Emas lainnya. Udara dingin dari pendingin ruangan di lorong sekolah menyapa wajahnya, tapi tak bisa meredakan ketegangan yang menggelayuti pikirannya. Apa yang mereka bicarakan barusan-tentang Kanaya dan sistem bobrok sekolah ini-membuat kepalanya penuh pertanyaan. Kenyataan yang baru saja ia hadapi membuatnya tersadar bahwa ada yang salah dengan tempat ini, meski semuanya terlihat sempurna dari luar.

Aluna kembali ke kelas Emas, ruangan paling mewah di sekolah. Meja Cakra di depan tampak mencolok, jauh lebih besar dan dilengkapi dengan teknologi canggih, layar holografik yang bisa menampilkan segala macam informasi hanya dengan sentuhan tangan. Sementara itu, Aluna yang baru satu hari masuk ke sekolah ini hanya memiliki meja biasa, yang meskipun terlihat modern, tak ada apa-apanya dibandingkan fasilitas Cakra.

Aluna duduk sambil menghela napas panjang, mencoba meredam rasa tak nyaman yang terus mengintip di pikirannya. Di sekelilingnya, siswa lain juga bersiap untuk ujian berikutnya, sebuah ujian yang katanya tidak hanya mengukur kemampuan akademis, tapi juga mental.

Pak Rendra memasuki ruangan, wajahnya serius seperti biasa. "Baik, anak-anak. Ujian kali ini akan mengukur lebih dari sekadar angka. Ini adalah tentang bagaimana kalian memahami lingkungan di sekitar kalian-tentang siapa yang kuat, siapa yang lemah, dan siapa yang sebenarnya dikendalikan."

Aluna menyipitkan mata, merasa bahwa kata-kata Pak Rendra mengandung makna tersembunyi. Di layar meja, instruksi ujian muncul: "Apa yang membuat sistem ini bobrok? Jelaskan perbedaan Kelas Emas, Perak, dan Perunggu."

Aluna menghela napas lagi, bingung harus mulai dari mana. Tapi satu hal yang jelas, sistem di sekolah ini tidak adil. Kelas Emas, tempatnya sekarang, hidup dalam kemewahan. Semua fasilitas disediakan, mulai dari ruangan ber-AC, teknologi canggih, hingga makanan berkualitas tinggi di kantin khusus mereka.

Kirana mencondongkan tubuh ke arah Aluna. "Lo tahu, kan? Di Kelas Perak, mereka cuma dapet sisa-sisa fasilitas kita. Meja mereka udah pada rusak, buku-buku lama, teknologi seadanya."

Aluna mengernyit. "Serius?"

Naura, tertawa kecil, tapi senyumnya ketus. "Dan Kelas Perunggu? Yah, mereka lebih mirip kayak tempat pembuangan siswa. Mereka bahkan nggak dapet buku, apalagi teknologi. Ruangan mereka sempit, nggak ada AC, dan meja-mejanya udah kayak bakal roboh kapan aja."

"Gila," gumam Aluna. "Kenapa nggak ada yang protes?"

Cakra, yang duduk di depan, memutar tubuhnya perlahan dan menatap Aluna dengan tatapan tajam. "Karena siapa pun yang berusaha melawan sistem ini akan dihancurkan. Kanaya ... dia berusaha, tapi lihat apa yang terjadi padanya."

Ucapan itu menggema di kepala Aluna. Kanaya, siswa yang dianggap bunuh diri beberapa bulan lalu, ternyata menyimpan rahasia tentang sekolah ini.

Gavin menyandarkan tubuhnya di kursi sambil menyeringai. "Yah, ini seperti permainan catur, Lun. Kelas Emas raja dan ratu, Kelas Perak cuma bidak yang bergerak lambat, dan Kelas Perunggu? Mereka bahkan nggak ikut main."

Hans, yang biasanya pendiam, ikut menyela, "Tapi lo lupa satu hal, Gav. Kadang-kadang bidak bisa jadi ratu, kan?"

Gavin tertawa keras, membuat Aluna sedikit terkejut. "Hah! Itu cuma dongeng buat bikin mereka semangat aja, Hans. Faktanya, nggak ada bidak di sekolah ini yang bakal berubah jadi ratu."

Aluna menatap ke layar ujiannya, berpikir keras. Bagaimana mungkin sekolah ini mempertahankan sistem yang begitu tidak adil? Dan lebih parah lagi, kenapa para siswa, terutama mereka yang berada di kelas bawah, hanya diam saja menerima nasib?

"Kanaya beneran nyoba ngubah semua ini?" tanya Aluna perlahan, masih tak percaya.

Kirana mengangguk pelan, matanya menatap kosong ke depan. "Dia tahu sesuatu, sesuatu yang bisa mengguncang seluruh fondasi sekolah ini. Tapi dia nggak sempat ngebuka semuanya sebelum ..." Kirana menghentikan kalimatnya seolah sulit untuk dilanjutkan. "Dan lo lihat sendiri apa yang terjadi padanya."

Aluna terdiam. Udara di dalam kelas terasa semakin menyesakkan. Semua yang dikatakan teman-temannya semakin membuatnya yakin bahwa kematian Kanaya bukan sekadar bunuh diri.

"Eh, ngomong-ngomong soal Kanaya ... lo pernah denger rumor yang bilang dia beneran gentayangan di sekolah ini?" Suasana tegang itu tiba-tiba pecah oleh suara Gavin yang tiba-tiba bergumam dengan ekspresi jahil. Dia sengaja menambahkan nada seram, sambil melirik Aluna yang tampak tegang.

Aluna langsung menatap Gavin dengan heran. "Serius, lo? Gue baru satu hari di sini, jangan mulai bikin cerita aneh-aneh, sialan!"

Gavin tertawa lagi, kali ini lebih keras, hingga beberapa siswa lain menoleh ke arahnya. "Cuma bercanda, Lun! Lo terlalu tegang, sih! Kanaya nggak bakal muncul buat nyakar-nyakar lo, kok."

Hans menatap Gavin dengan datar. "Lo nggak bosan apa ngecengin orang terus?"

Gavin hanya mengangkat bahu santai. "Gue kan cuma nyari hiburan di tengah ujian gini. Lagian, siapa tahu kan Kanaya emang suka sama gue, makanya gentayangan."

Teman-temannya cuma menggeleng sambil tersenyum tipis, meskipun ucapan Gavin sebenarnya cukup ampuh membuat suasana jadi lebih ringan.

"Fokus, anak-anak. Ini bukan saatnya bercanda." Pak Rendra tiba-tiba bersuara dari depan kelas.

Suasana kembali serius. Aluna menatap kembali layar di depannya, sementara pikirannya melayang pada segala kemungkinan yang ada. Apakah benar ada cara untuk mengubah sistem ini? Atau seperti yang dikatakan Cakra, harganya terlalu besar untuk dibayar?

•••••

Bel berbunyi, menandakan ujian selesai.
Aluna bernapas lega. Dia merenggangkan tangannya sekilas. Saat matanya menelisik sekeliling ruangan, ponselnya tiba-tiba bergetar di dalam sakunya. Dengan hati-hati, dia mengeluarkannya dan membaca sebuah pesan yang masuk dari nomor tak dikenal:

"Kematian Kanaya bukan bunuh diri. Jangan terlalu penasaran, atau lo bakal bernasib sama."

Aluna menelan ludah, merasakan dingin menjalari tubuhnya. Pesan itu terasa seperti peringatan yang samar, tapi juga jelas. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua ini, dan dia tahu bahwa semakin dia menggali, semakin dalam dia akan terjebak.

Matanya tak terfokus ke mana pun. Suasana kelas dipenuhi bisik-bisik pelan dari murid-murid Kelas Emas, tapi pikiran Aluna masih terperangkap di layar ponselnya. Pesan yang baru saja masuk masih terpampang jelas.

Tenggorokannya kering. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, dan jemarinya gemetar saat dia mencoba membaca ulang pesan itu. Siapa yang mengirim ini? Dan bagaimana dia tahu kalau Aluna sedang menyelidiki kematian Kanaya?

Aluna memandang sekeliling kelas, mencari tanda-tanda mencurigakan. Cakra, Naura, Kirana, Hans, dan Gavin tampak tenang, seolah tak ada yang salah. Tapi, entah kenapa, mereka semua terlihat mencurigakan di mata Aluna sekarang.

"Aluna, lo baik-baik aja?" Gavin tiba-tiba menoleh, suaranya terdengar agak khawatir.

Aluna tersentak, dengan cepat mengunci layar ponselnya dan menelan ludah. "Eh, iya ... gue cuma agak capek aja," jawabnya setengah gugup, mencoba menutupi kecemasannya.

"Capek? Baru juga hari pertama lo di sini," Kirana tertawa kecil. "Kita bakal lihat seberapa lama lo tahan di tempat ini."

Aluna hanya tersenyum tipis, tapi dalam hati, ada sesuatu yang semakin menghantui. Pesan itu tak bisa diabaikan begitu saja. Dan apa maksudnya dengan 'bernasib sama'?

•••••

Jerat Ambisi : Genius Disciples New VersiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang