Bab 11: Bayang Kesempurnaan

7 2 0
                                    

SAAT bel pulang sekolah berbunyi, Aluna berjalan keluar dari bangunan megah sekolah dengan langkah berat. Senja perlahan menguning, membingkai gedung sekolah dengan cahaya temaram yang lembut. Namun, suasana hati Aluna jauh dari lembut. Pikirannya terus dihantui oleh kejadian tragis tadi siang. Mayat siswa di laboratorium masih membekas di benaknya, begitu jelas seakan kejadian itu baru saja berlangsung.

“Lun, lo nggak ikut belajar sambil makan sama kita hari ini?” Suara Gavin memecah lamunannya, membuat Aluna menoleh.

Dengan senyum lemah, Aluna menggeleng. “Nggak, Gav. Gue dijemput, ada urusan keluarga.”

Gavin menatapnya dengan pandangan yang sulit dibaca, tapi ia tidak memaksakan. “Oke, kalau gitu. Hati-hati di jalan, ya.”

Aluna hanya mengangguk sambil memaksakan senyum, lalu melanjutkan langkahnya ke depan gerbang. Di sana, seperti biasa, sudah menunggu mobil sedan hitam yang mengilap dengan sopir keluarganya berdiri di samping pintu.

“Selamat sore, Nona Aluna,” sapa Pak Budi, sopir yang sudah bekerja untuk keluarganya selama bertahun-tahun.

Aluna hanya mengangguk pelan, lalu melangkah masuk ke dalam mobil. Pak Budi menutup pintu dengan lembut sebelum beranjak ke kursi pengemudi. Suara mesin mobil menggeram halus saat mulai melaju meninggalkan halaman sekolah.

Aluna duduk di kursi belakang, memandangi jalanan di luar jendela dengan tatapan kosong. Hatinya tidak bisa tenang. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar dan bersosialisasi telah berubah menjadi medan perang yang tak terlihat. Bukan lagi hanya soal nilai atau prestasi, tetapi soal hidup dan mati. Kematian siswa di lab tadi bukan pertama, dan entah apakah akan menjadi yang terakhir.

Wajah siswa yang mati itu terus menghantui pikirannya. Dia pernah melihatnya beberapa kali, tapi tidak terlalu dekat mengenalnya. Namun, kematiannya begitu brutal, seakan ada pesan yang ingin disampaikan oleh sistem sekolah ini. Peringkat bukan lagi sekadar angka; mereka telah menjadi ancaman bagi kehidupan nyata.

Aluna mendesah panjang. Pandangannya terus menembus jendela mobil, memerhatikan gedung-gedung yang melintas di kejauhan. Sore itu terlihat indah, dengan langit yang mulai memudar keemasan, tetapi bagi Aluna, tidak ada keindahan yang bisa menutupi kegelisahannya.

"Apa ini akan terus berlanjut?" pikir Aluna. "Apa kita semua hanya menunggu giliran untuk menjadi korban berikutnya?"

Mobil terus melaju, membawa Aluna semakin jauh dari sekolah. Namun, perasaannya tetap tertinggal di sana, di balik tembok sekolah yang sekarang terasa seperti penjara.

••••

Sesampainya di rumah, Aluna disambut oleh pemandangan megah rumah keluarganya. Rumah besar dengan taman yang tertata rapi, kolam ikan, dan pilar-pilar marmer putih yang menjulang. Namun, bagi Aluna, semua kemegahan ini terasa hampa. Sebuah simbol kesempurnaan yang dipaksakan, seperti kehidupannya sendiri.

Mama tirinya, Sylvia, sudah menunggu di depan pintu. Wajahnya tersenyum, tapi Aluna tahu, di balik senyum itu ada tuntutan yang selalu mengintai.

"Kamu terlambat lagi, Aluna," tegur Sylvia dengan nada tegas, meskipun masih terbungkus senyum.

"Maaf, Ma. Tadi ada sedikit urusan di sekolah," jawab Aluna sambil menundukkan kepala, mencoba menahan diri untuk tidak berdebat.

"Malam ini kita ada pertemuan penting dengan rekan bisnis papamu. Kamu harus bersikap baik, jangan sampai ada kesalahan. Mengerti?" Sylvia menatap Aluna dengan tatapan penuh ekspektasi.

Aluna mengangguk tanpa berkata apa-apa, lalu berjalan masuk ke rumah. Di dalam, suasana rumah terasa dingin meskipun interiornya hangat dan elegan. Semua perabotan diatur dengan sempurna, tanpa celah untuk ketidaksempurnaan. Begitulah cara keluarga ini menjalani hidup—sempurna di luar, meskipun ada kekosongan di dalamnya.

Jerat Ambisi : Genius Disciples New VersiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang