Bab 17: Bayang-bayang Penghancur

3 2 0
                                    

LANGKAH kaki mereka berderap cepat di lantai keramik yang dingin. Suara napas yang berat berpadu dengan gemuruh detak jantung, memenuhi keheningan mencekam di sekitarnya. Cakra, di depan, berlari sambil memapah Aluna yang masih terlihat lemah. Dia sesekali menoleh ke belakang, memastikan teman-temannya tidak tertinggal.

Hans, yang biasanya santai, kini berkeringat dingin. Ia melirik kiri dan kanan, seakan menunggu jebakan yang bisa muncul kapan saja. "Lo yakin nggak ada jalan buntu lagi, Cak?" bisiknya dengan nada cemas.

"Kita udah nggak punya pilihan lain," jawab Cakra, suaranya datar tapi tegang. "Kalau kita nunggu lebih lama, mereka bakal tahu kita di sini."

Gavin, yang berada di paling belakang, sesekali menoleh ke belakang, matanya waspada. “Gue juga nggak suka feeling gue tentang ini,” gumamnya pelan. “Ini kayak ... jebakan yang sempurna.”

Naura, yang berlari di samping Hans, melirik cepat ke arah Aluna. Gadis itu masih pucat, tapi kini sudah bisa berjalan sendiri meski pelan. “Lo nggak apa-apa, Lun?” tanya Naura, khawatir. “Lo masih kelihatan lemes banget.”

Aluna mengangguk pelan. “Gue ... bisa, Ra,” jawabnya terbata-bata. Meski tubuhnya lemah, semangat Aluna tidak pernah pudar. “Yang penting kita harus keluar dari sini. Gue nggak mau kita semua ... mati konyol.”

Tiba-tiba, Cakra berhenti mendadak. Semua orang hampir bertabrakan dengannya, terkejut dengan pergerakannya yang tiba-tiba.

“Kenapa lo berhenti, Cak?” tanya Hans, bingung.

Cakra hanya menunjuk ke depan, tanpa berkata apa-apa. Di depan mereka, sebuah pintu besar berdiri tegak. Pintu itu terlihat berbeda dari yang lain—lebih kokoh, lebih megah, tapi juga lebih mencurigakan. Ada bekas goresan di sisi pintu, seakan seseorang pernah mencoba membukanya dengan paksa.

“Ini ... jalan keluarnya?” Naura melangkah maju, meraba pintu itu dengan tangannya. Dia menelan ludah, suara jantungnya semakin keras di telinga.

"Atau bisa jadi ini jebakan terakhir." Gavin menambahkan dengan sinis, meskipun suaranya jelas menunjukkan ketegangan yang ia rasakan.

Cakra menghela napas panjang. "Gue nggak tahu. Tapi kita udah sejauh ini. Kalau kita nggak coba, kita bakal terus terjebak di sini." Dia meraih gagang pintu dan menggeserknya perlahan. Terdengar suara derit halus saat pintu mulai terbuka, tapi di baliknya hanya ada kegelapan yang semakin pekat.

“Gue nggak suka tempat ini,” gumam Aluna, tubuhnya bergetar sedikit. “Ada sesuatu yang nggak beres. Gue bisa ngerasainnya.”

Kirana, yang sejak tadi diam, tiba-tiba angkat bicara. "Lo nggak salah, Lun. Ada sesuatu di sini. Gue ... gue bisa ngerasainnya juga." Dia menelan ludah, matanya terpaku pada kegelapan di balik pintu itu. “Arwah ... mereka nggak pergi. Mereka masih di sini, ngintai kita.”

Shit,” Gavin menggeram sambil menggigit bibirnya. “Arwah? Lagi-lagi lo ngomongin soal arwah. Kita udah hampir mati gara-gara makhluk hidup, sekarang lo bilang ada hantu?”

“Kita nggak bisa abaikan itu, Vin,” sahut Naura, mencoba menenangkan. “Kalau Kirana bilang ada yang nggak beres, kita harus dengerin.”

Namun, sebelum mereka sempat memutuskan apa-apa, terdengar suara langkah kaki di kejauhan. Langkah-langkah itu cepat dan berat, mendekat ke arah mereka.

“Cepet masuk!” seru Cakra dengan nada mendesak. Ia menarik Aluna dengan hati-hati dan mendorongnya masuk ke dalam ruangan gelap itu, diikuti yang lain.

Mereka masuk satu per satu, berusaha secepat mungkin. Begitu semua orang masuk, Cakra menutup pintu dengan cepat, tapi tetap berhati-hati agar tidak menimbulkan suara.

Jerat Ambisi : Genius Disciples New VersiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang