Bab 3: Debat dibalik topeng

25 9 3
                                    

ALUNA duduk di kursinya, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tidak beraturan. Kelas itu sunyi, hanya diisi oleh beberapa tatapan yang terfokus pada layar tablet masing-masing. Di luar, suara riuh dari kelas lain seakan tak pernah ada di tempat ini. Bagi kelas Emas, dunia mereka begitu berbeda—tertutup, berlapis, dan penuh tekanan.

Bapak Rendra, yang sejak tadi memperhatikan mereka, berdiri di depan kelas. "Hari ini kalian akan menghadapi ujian debat," katanya dengan nada tenang, tapi ada sesuatu yang tegas di balik suaranya. "Dan topik debat kalian adalah sesuatu yang sangat relevan dengan apa yang kalian alami."

Di layar tablet, sebuah notifikasi muncul:

"Debat: Apakah sistem pendidikan di Nerlangga mendukung kemajuan siswa, atau justru menghancurkan mereka?"

Tatapan Aluna terfokus pada pertanyaan itu. Sudah lama dia mendengar desas-desus tentang kejamnya sistem di sekolah ini, dan sekarang, dia dihadapkan langsung pada kenyataan itu. Namun, sebelum dia bisa mencerna lebih dalam, Pak Rendra berbicara lagi.

"Kalian tahu apa yang diharapkan. Setiap dari kalian akan diberi kesempatan untuk berbicara. Ini bukan hanya soal argumen, ini soal membuktikan diri kalian layak berada di sini. Kegagalan tidak akan dimaafkan."

Suasana kelas semakin mencekam. Cakra, siswa yang paling dominan, berdiri pertama kali. Sikapnya santai, penuh kepercayaan diri. Ia melangkah ke depan kelas, matanya menyapu ruangan seperti seorang pangeran yang memerintah kerajaannya.

"Sistem ini sudah terbukti berhasil," katanya dengan lantang. "Kami yang duduk di sini adalah buktinya. Sistem ini menyaring mereka yang kuat dan menghilangkan mereka yang tidak layak. Hanya mereka yang bisa bertahan yang akan berhasil. Seperti itulah dunia bekerja."

Aluna merasa darahnya mendidih mendengar kata-kata itu. Dia tahu betul bahwa tidak semua orang seberuntung Cakra. Ada banyak siswa yang berjuang keras hanya untuk bertahan, dan sistem ini hanya memperparah ketidakadilan.

"Tapi apakah itu adil?" kata Aluna tiba-tiba. Dia berdiri, meski kakinya gemetar sedikit. "Kita berbicara tentang manusia, bukan barang yang bisa diukur hanya dari satu sisi. Bagaimana dengan mereka yang harus menghadapi kesulitan lain di luar sekolah? Apakah mereka juga tidak layak hanya karena tidak bisa bersaing di sini?"

Tatapan semua siswa tertuju pada Aluna. Beberapa dari mereka tersenyum sinis, seperti Gavin yang menyeringai kecil. “Lo baru di sini, dan lo sudah bicara seolah tahu segalanya,” katanya dengan nada mengejek. “Ini bukan tentang keadilan, ini tentang hasil. Dunia di luar sana tidak peduli dengan alasan. Entah lo berhasil, atau lo gagal. Itu saja.”

"Dan apakah itu definisi keberhasilan?" tanya Aluna, mencoba mempertahankan posisinya. "Menghancurkan orang lain hanya untuk terlihat lebih baik? Bukankah kita seharusnya belajar untuk tumbuh bersama?"

Naura, yang duduk di samping Cakra, tertawa kecil. "Anak ini benar-benar naif," katanya sambil mengangkat alis. "Kalau lo terus berpikir seperti itu, lo akan tersingkir sebelum lo sempat menginjakkan kaki di semester berikutnya."

Debat mulai memanas. Aluna tahu dia tidak bisa mundur sekarang, meski perutnya terasa mulas. Ini adalah ujian pertama, dan jika dia gagal di sini, dia tidak yakin akan bisa bertahan di kelas ini.

"Lo bicara tentang kekuatan dan hasil," kata Kirana, yang selama ini hanya diam dan mendengarkan. "Tapi kekuatan sejati bukan hanya tentang bertahan hidup. Kadang, kekuatan adalah kemampuan untuk mengakui bahwa sistem yang kita jalani ini cacat. Bahwa ada sesuatu yang salah ketika satu nyawa hilang dan kita hanya menerimanya begitu saja."

Kata-kata Kirana menggantung di udara, seolah membawa suasana kelas ke dimensi lain. Aluna menatapnya, mencoba mencari arti di balik ucapannya. Dan saat itulah, bayangan Kanaya—siswa yang tewas beberapa bulan lalu—kembali muncul di benaknya. Kematian misterius itu masih belum terpecahkan, dan sekarang, Aluna merasa ada lebih banyak yang tersembunyi di balik kasus itu.

Jerat Ambisi : Genius Disciples New VersiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang