Bab 15: Jejak yang Hilang

5 2 0
                                    

HUJAN masih turun deras saat Aluna diseret menjauh dari lapangan. Denting air yang menghantam tanah semakin keras, seakan menyamarkan suara erangan pelan dari bibirnya yang pucat. Tubuhnya terasa berat, sementara napasnya terengah. Dia mencoba meronta, tetapi tenaganya sudah terkuras habis oleh kejadian yang baru saja dialaminya.

Mata Aluna melirik ke ponsel yang masih digenggam erat di tangan kirinya. Layar memudar, tapi pesan itu masih jelas tergambar dalam benaknya. "Kamu berikutnya." Kata-kata itu menusuk jauh ke dalam dirinya, menanamkan rasa takut yang tak bisa ia definisikan. Siapa yang mengirim pesan itu? Mengapa dia melakukannya? Semua pertanyaan itu terjebak di dalam pikirannya yang berputar tanpa henti.

“Berhenti melawan. Ini peraturan.” Suara dingin instruktur yang menyeretnya terdengar tanpa emosi, seolah ini adalah rutinitas biasa bagi mereka.

Aluna terdiam, menahan diri untuk tidak menanggapi. Pikirannya melayang pada kelima temannya. Apakah mereka aman? Apa mereka tahu apa yang terjadi padanya sekarang?

Para pria berperawakan gagah itu membawa Aluna menuju bangunan tua di belakang sekolah, yang selama ini hampir tak pernah diperhatikan. Pintu besi besar yang berkarat terbuka dengan derit nyaring, menambah kesan angker dari tempat itu. Di dalam, hanya ada lampu redup yang bergoyang perlahan di langit-langit.

Tanpa peringatan, Aluna didorong kasar ke lantai beton dingin. Tali kasar diikatkan ke pergelangan tangannya, memaksanya tetap di tempat. Suara pintu yang tertutup dan terkunci dari luar membuat hatinya semakin tenggelam dalam ketakutan.

"Cak, Vin. Semuanya tolongin gue!"

•••••

Di luar, Cakra berjalan gelisah di tengah guyuran hujan. Pandangannya berulang kali menyapu area sekolah yang kini terasa semakin asing baginya. Sementara itu, Naura dan Gavin berdiri tak jauh dari sana, sama-sama terpaku pada pikiran mereka masing-masing.

“Cak, kita harus cari Aluna sekarang. Ini nggak bisa dibiarin.” Naura mendesah frustrasi, wajahnya penuh kecemasan.

Cakra menatap Naura dengan mata yang sarat beban. “Gue tau. Tapi kita nggak bisa sembarangan. Lo lihat sendiri tadi, mereka nggak akan kasih kita petunjuk apa pun. Apalagi kalau Aluna udah diasingkan.”

“Ada kemungkinan dia di salah satu bangunan lama di belakang lapangan,” Gavin angkat bicara setelah lama diam. Suaranya terdengar pelan, tetapi penuh tekad. “Gue pernah lihat daftar bangunan di sekolah ini. Banyak yang udah nggak dipake, tapi masih terdaftar sebagai fasilitas.”

Naura mengangguk cepat, seakan mendapat angin segar dari perkataan Gavin. “Jadi, gimana caranya kita masuk ke sana tanpa ketahuan?”

Cakra menghela napas dalam. “Kita butuh rencana. Dan nggak cuma soal masuk ke sana, kita juga harus siap buat kemungkinan terburuk. Kalau kita ketahuan, kita bisa berakhir kayak Aluna, atau bahkan lebih buruk.”

“Gue nggak peduli. Aluna temen kita. Gue nggak bakal tinggal diam kalau dia disekap kayak gini. Kalau lo nggak mau ikut, gue sendiri yang bakal nyusul dia.” Hans, yang berdiri tak jauh, memotong,

“Gue ikut,” Gavin menjawab cepat. “Kita harus bareng-bareng. Kalau nggak, kita nggak akan selamat.”

Mereka semua saling berpandangan sejenak, seolah membuat kesepakatan tak terucap. Misi penyelamatan ini bukan sekadar tentang menyelamatkan Aluna. Ini tentang membuka kedok sekolah yang mereka kira adalah tempat yang aman.

Jerat Ambisi : Genius Disciples New VersiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang