Bab 20: Kebangkitan Ingatan

2 1 0
                                    

RASA kantuk itu datang tiba-tiba, menyerang tanpa peringatan. Aluna mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha menyingkirkan kabut di kepalanya yang perlahan mulai menipis. Kepalanya terasa berat, seolah ada sesuatu yang mengunci di dalamnya. Sesuatu yang hilang—atau lebih tepatnya, diambil.

Dia mendongak, menatap sekeliling. Suasana kelas debat yang baru saja memanas mulai mereda, namun tatapan setiap orang masih menyimpan bara persaingan. Kirana duduk dengan tangan terlipat di dada, senyum tipis di bibirnya seolah puas dengan kemenangan argumen terakhirnya. Cakra dan Naura masih saling bertukar pandangan sinis, sedangkan Hans terlihat termenung, seolah menimbang-nimbang sesuatu yang lebih dalam.

Tapi Aluna? Dia merasakan ada sesuatu yang salah. Kepalanya berdenyut, ingatannya seperti puzzle yang berserakan, tapi satu persatu potongan mulai kembali. Seperti serpihan kaca yang menyatu kembali, refleksi samar mulai tampak.

"Semalam," gumam Aluna pelan, hampir tidak terdengar. Tapi Gavin yang duduk di sebelahnya langsung menoleh.

"Apa?" tanya Gavin, mengangkat alis. Dia tampak lelah, seolah ada yang merongrong pikirannya juga.

"Semalam..." Aluna mencoba merangkai kata. "Ada sesuatu... suntikan..."

Kata-katanya menggantung di udara, membuat suasana yang tadinya tegang berubah lebih dingin. Semua kepala menoleh ke arahnya. Naura yang tadinya terlihat paling tenang kini merengut, seolah mencoba mengingat sesuatu yang samar di benaknya.

"Apa yang lo omongin, Aluna?" Kirana bertanya, nadanya masih tajam meskipun terlihat bingung.

Aluna menutup mata, berusaha keras untuk memvisualisasikan potongan-potongan ingatan yang mulai menyeruak ke permukaan. Ada ruangan gelap, tali yang mengikat pergelangan tangannya, dan jarum suntik... "Kita disekap, kan?" Aluna akhirnya berkata, membuka mata dan menatap yang lainnya. "Mereka... nyuntik kita."

Hans tersentak, tatapannya berubah terkejut, lalu perlahan-lahan ekspresinya melembut, seperti mulai memahami sesuatu yang hilang dari dirinya. "Suntikan? Gue ingat sekarang. Kita... dibawa ke suatu tempat. Gue diikat. Terus mereka nyuntik gue..." Suaranya semakin kecil, seolah tidak yakin dengan apa yang dia katakan.

"Lo semua jangan ngelantur," potong Kirana cepat. "Apa-apaan sih ini? Suntikan? Sekapan? Itu kayak plot film horor, bukan kenyataan."

Tapi kini, bukan hanya Aluna dan Hans yang mulai terlihat gelisah. Cakra menggosok pelipisnya, seolah berusaha mengenyahkan rasa pusing yang tiba-tiba melanda. Naura, yang tadinya merasa yakin dengan segala yang mereka perdebatkan, kini tampak ragu, wajahnya pucat saat dia mulai menggigit bibir bawahnya.

"Sialan," desis Naura pelan. "Gue juga ingat. Ada ruangan gelap... dan suara. Suara orang-orang yang nggak gue kenal. Mereka ngomongin kita."

"Ngapain lo pada percaya sama ingatan samar kayak gitu?" Kirana mulai terlihat defensif, tapi jelas ada kilatan keraguan di matanya. Dia tidak bisa menyembunyikan kecemasannya lebih lama lagi. "Mungkin lo semua halu. Mungkin efek kurang tidur. Kita semua tahu kita udah stres beberapa minggu ini."

"Tapi kenapa ingatan itu sama?" Aluna bertanya balik, suaranya semakin tenang tapi tegas. "Kenapa kita semua ingat hal yang sama? Ada sesuatu yang nggak beres."

Gavin yang sejak tadi terdiam, tiba-tiba bersuara, nadanya rendah. "Gue juga mulai ingat. Kita disuntik... dan setelah itu gue nggak ingat apa-apa lagi. Cuma kegelapan."

Sunyi menyelimuti mereka. Setiap orang tenggelam dalam pikirannya sendiri, berusaha mengumpulkan serpihan ingatan yang kian jelas. Mereka semua tahu ada sesuatu yang salah. Terlalu banyak yang hilang dari kepala mereka.

Aluna menggeleng pelan, tatapannya tertuju ke meja di depannya. "Kenapa kita nggak ingat semuanya? Apa yang mereka lakukan ke kita?"

"Siapa mereka?" Cakra akhirnya bertanya, suaranya dingin tapi dipenuhi ketegangan. "Siapa yang nyuntik kita? Apa yang mereka mau?"

Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu. Mereka semua mulai sadar bahwa malam sebelumnya bukan hanya sekadar mimpi buruk yang tak terjelaskan. Tapi fakta. Dan lebih buruknya lagi, mereka tidak tahu siapa yang bertanggung jawab atau apa tujuannya.

Kirana, yang biasanya paling keras kepala dan skeptis, kini mulai merasakan sesuatu yang tak enak di perutnya. Dia menatap Aluna dengan mata yang kini kehilangan ketegasan, seolah-olah kebenaran mulai menggerogoti dirinya. "Lo serius ini?"

Aluna mengangguk, kali ini dengan lebih mantap. "Kita nggak boleh diem aja. Kita harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka jelas ngelakuin sesuatu sama kita."

Hans, yang dari tadi diam, menatap Aluna dalam-dalam. "Lo yakin mau ngungkit ini? Apa lo siap dengan jawaban yang bakal kita temuin?"

Aluna menarik napas panjang, tatapannya tegas. "Mau nggak mau, kita harus tahu. Karena ini nggak akan berhenti di sini."

Semua kembali terdiam, namun kali ini bukan karena kebingungan. Mereka semua tahu satu hal—mereka tidak bisa lagi berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Ingatan yang perlahan pulih ini hanyalah permulaan dari sesuatu yang jauh lebih besar. Mereka telah membuka pintu ke dunia yang tidak mereka kenal sebelumnya.

Dan Aluna? Dia tahu bahwa dialah yang harus memimpin mereka. Ini bukan lagi soal menang atau kalah dalam debat, ini soal bertahan hidup.

Sementara itu, di sudut gelap kelas, Pak Hendrawan memperhatikan mereka dengan senyum tipis di wajahnya, seperti mengetahui sesuatu yang tidak mereka sadari.

•••••

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jerat Ambisi : Genius Disciples New VersiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang