Bab 19: Ambisi Tanpa Ingatan

1 1 0
                                    

PAGI ini terasa biasa. Cakra membuka matanya di kelas, tepat di kursinya yang biasa, dikelilingi oleh buku-buku tebal dan catatan yang berantakan. Ia memutar leher, merasa sedikit kaku, tapi anehnya tidak terlalu peduli. Pandangannya menyapu sekeliling ruangan. Semua terlihat normal, atau setidaknya, begitu tampaknya.

Di barisan depan, Naura duduk diam, matanya fokus pada layar laptopnya, mengetik tanpa henti. Tatapannya dingin, tak lagi tampak lembut dan ramah seperti biasanya. Kirana, yang sebelumnya menghilang tanpa jejak, kini berada di kursi sebelahnya, terlihat seperti tidak pernah absen sama sekali. Namun, ada yang aneh. Wajahnya keras dan angkuh, berbeda dari senyum manis yang dulu selalu ia tunjukkan.

Hans, Gavin, dan Aluna juga berada di tempat mereka masing-masing, seperti tidak terjadi apa-apa semalam. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada cara mereka memandang satu sama lain. Mata mereka tampak penuh kebencian dan rasa iri. Seolah-olah, sekarang yang ada hanyalah musuh di sekeliling mereka.

Pak Hendrawan masuk ke kelas dengan langkah mantap. Tidak ada basa-basi, tidak ada sapaan. Ia langsung menuliskan sesuatu di papan. "Ujian kejutan hari ini. Ambil alat tulis kalian, kita mulai sekarang."

Cakra mendesis pelan, merasa terpacu. "Ujian lagi? Baru juga pagi," gumamnya sinis.

Naura menoleh sejenak ke arah Cakra dengan tatapan merendahkan. "Jangan bilang lo nggak siap, Cak. Kalau lo mau peringkat pertama, lo harus bisa handle ujian kayak gini," katanya dengan nada sombong.

Cakra mendengus, "Lo kira gue takut sama lo, Naura?"

Suasana langsung berubah tegang. Hans yang duduk di belakang, menggeleng dengan tatapan menghina. "Kalian berdua kelihatan konyol dengan debat bodoh kayak gini. Udah jelas gue yang bakal dapet peringkat pertama. Jangan bikin malu diri kalian."

Kirana mendengus, "Hans, mimpi lo terlalu tinggi. Lo nggak ada apa-apanya dibanding gue."

"Apa lo bilang?" Hans langsung bangkit dari kursinya, namun Gavin menahan bahunya.

"Udah, Hans. Biarin mereka, lo tahu kok kalau lo paling unggul di sini. Nggak usah buang waktu buat debat nggak jelas," kata Gavin sambil tersenyum tipis.

Pak Hendrawan mengetuk meja keras, menghentikan keributan kecil itu. "Cukup. Fokus ke ujiannya. Waktu kalian terbatas."

Semua langsung diam, fokus ke lembar soal yang baru saja dibagikan. Tapi ketegangan tetap terasa. Setiap orang merasa terancam, setiap tatapan mengandung kebencian. Mereka semua haus kemenangan, haus peringkat. Persaingan terasa lebih panas dari sebelumnya, dan entah kenapa, mereka semua begitu bertekad untuk menang dengan cara apa pun.

Soal pertama dibaca, mereka langsung tenggelam dalam suasana tegang. Angka-angka, persamaan rumit, dan teori-teori ilmiah di hadapan mereka seolah menjadi medan perang. Aluna, yang biasanya paling tenang, kini tampak keras dan tanpa belas kasih, menulis dengan cepat, seperti seseorang yang dikuasai oleh ambisi.

Setiap orang mendesah kesal, berlomba menjadi yang tercepat dan paling benar. Tidak ada kerja sama, tidak ada canda seperti dulu. Hanya ambisi dingin yang mengalir di setiap helaan napas mereka.

Namun, ketegangan sesungguhnya baru dimulai saat Pak Hendrawan menuliskan kata-kata di papan putih: "Debat Final: Sistem Pendidikan Kompetitif vs Sistem Pendidikan Kolaboratif"

Pak Hendrawan tersenyum dingin. "Kalian akan dibagi menjadi dua tim untuk debat. Setiap argumen yang kalian lemparkan akan dinilai berdasarkan logika, kekuatan data, dan strategi debat. Siapa yang menang akan mendapatkan nilai tambahan. Siap?"

Hans tertawa kecil, "Ini bakal mudah."

Cakra menyeringai. "Kita lihat nanti siapa yang lebih pintar, Hans."

Jerat Ambisi : Genius Disciples New VersiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang