14 ❤️ Renungan

4 1 0
                                    

Sampai bel pulang berbunyi pun, Risa tidak jadi menemui Adrian. Perasaannya semakin kacau setelah bertemu dengan Bastian. Kata-kata lelaki itu tidak ada yang enak didengar. Seakan Risa adalah pengaruh buruk bagi sahabatnya.

Sejak awal laki-laki itu memang sudah menganggapnya musuh. Padahal, selama ini sebisa mungkin Risa menjaga jarak. Mereka bahkan hampir tidak pernah bicara satu sama lain. Sialnya, Bastian selalu ada di dekat Adrian dan berada di kelas yang sama.

"Memangnya apa hak Bastian sehingga berani ngomentari gue? Kalau nggak suka ya merem aja. Gampang, kan?" Dalam hati, Risa menggerutu saat sedang berjalan menuju pintu gerbang melewati tempat parkir. Yasmin dan lainnya pulang lebih dulu, meninggalkan dia yang tadi sempat mampir ke toilet.

Sore itu langit mendung. Beberapa murid sudah terlihat bergegas pulang sebelum terjebak hujan. Padahal bisa dibilang sekarang masih musim panas, tetapi cuaca terkadang sulit untuk diprediksi. Risa turut mempercepat langkah kaki. Awan hitam mulai berkumpul, bersiap menjatuhkan kumpulan air yang memberatkannya. Dia baru berhenti ketika berpapasan dengan teman sekelas Adrian. Mengamati gerombolan murid tersebut yang rupanya berasal dari kelas yang sama.

"Apa hari ini nggak ada kelas tambahan?" tanyanya pada diri sendiri.

Setelah menimbang-nimbang, Risa memutuskan mengubah arah kakinya kembali menuju gedung kelas 12. Sudah lama mereka tidak pulang bersama, mungkin dia bisa memanfaatkan saat ini untuk bicara dengan Adrian sambil menghabiskan waktu berdua. Baru saja berjalan beberapa langkah, lagi-lagi ia berhenti. Menangkap sosok Yuri yang tidak terlalu jauh sedang bersama teman-temannya menuju pintu keluar.

Tidak biasanya Risa tertarik menatap gadis yang selalu mengusik hubungannya dengan Adrian tersebut. Namun, ucapan Bastian yang membandingkannya dengan Yuri membuat penasaran. Apa yang membuat Yuri terlihat lebih baik.

Yuri memiliki rambut panjang yang indah. Risa masih ingat tekstur lembutnya saat tersentuh tangan. Sedikit menyayangkan jika rambut sebagus itu pernah menjadi korban kekuatan jarinya. "Apa dia selalu pergi ke salon? Buang-buang duit aja," cibirnya dalam hati.

Saat sedang merespon ucapan temannya, Yuri bicara dengan suara yang tidak terlalu kencang. Setiap kata yang diucapkan begitu tenang dan penuh perhitungan. Sangat berkelas dibandingkan Risa yang selalu blak-blakan dan suka berteriak. "Model cewek ngebosenin dan manipulatif," gumam Risa dengan mata memicing.

Bukan hanya memiliki rambut dan tutur kata yang bagus, tetapi Yuri juga memiliki wajah yang diimpikan oleh Risa. Seperti sorot mata yang sedikit sayu, bibir tipis merah muda, hidung mancung, dan pipi tirus.

Setelah rombongan Yuri hilang dari pandangan, Risa masih berdiri mematung. Menunduk untuk melihat lemak perutnya yang sedikit buncit. "Ternyata gue kalah banyak," katanya setelah membandingkan dirinya dengan Yuri yang memiliki tubuh tinggi dan langsing.

Risa benar-benar sial. Dia harus mengakui kalau Yuri lebih unggul dalam berbagai aspek. Hari ini semakin menyebalkan saat air langit sedikit demi sedikit mulai berjatuhan. Dia berlari menuju gedung terdekat dan meneduh di depan kelas 10.

Risa benci hujan. Baginya, tidak ada yang baik jika hujan turun. Semua aktivitas akan terhenti, banyak genangan air di jalan, dan bajunya yang dijemur akan sulit untuk kering. Ketimbang bersusah payah menerobos hujan yang pasti akan membuat seragamnya basah, lebih baik tunggu di sana sampai hujan reda. Kalau pun hujan turun sampai malam, lampu sekolah akan menyala.

Risa duduk di bangku panjang depan kelas. Menonton murid-murid lain yang berlari melawan hujan sambil melindungi kepala dengan tas sekolah. Waktu terus berjalan, dia mulai bosan dan sekolah semakin sepi, ditambah lagi ponselnya mati kehabisan baterei.

Kakinya berayun menghilangkan kebosanan. Pikirannya yang kosong secara otomatis memikirkan Yuri. Risa akui kalau perbedaan mereka sangat jauh. Mungkin itu pula alasan dia begitu membencinya. Iri dengan semua yang dimiliki Yuri, selalu dihantui rasa cemburu, dan takut karena ada gadis seperti itu di dekat Adrian. Tidak menutup kemungkinan lama-lama Adrian jatuh cinta.

Risa menghela napas panjang seolah dia adalah gadis berusia 17 tahun yang memikul beban yang amat besar. "Kenapa saingan gue berat banget, sih?"

Suasana yang tadinya hanya ada suara hujan, kini beradu dengan bunyi sepatu yang membentur lantai dengan cepat dan keras, menggema di sepanjang koridor. Diliputi rasa penasaran, Risa menoleh untuk melihat siapa yang berlarian saat sekolah sedang sepi. Disaat ia sedang merasa rendah diri dan terkucilkan, sosok Adrian yang berlari ke arahnya dengan seragam rapi dan rambut berantakan, membuat hatinya kembali tenang. Walau tidak tahu tujuan laki-laki itu tampak terburu-buru, tetapi hanya melihat wajahnya, Risa sangat senang.

"Aku tau kamu belum pulang," kata Adrian dengan napas tersengal-sengal berhenti di depan Risa.

"Aku yakin kamu nggak bawa payung dan nunggu sampai hujan reda, jadi aku nyariin kamu." Adrian kembali menjelaskan alasannya masih ada di sekolah pada Risa yang menatapnya tanpa bersuara.

Laki-laki itu menundukkan kepalanya lebih dalam, melihat sepatu Risa. Dia meletakkan tasnya di sisi bangku yang masih kosong sebelum membungkuk dan berlutut untuk melepas sepatunya.

"Saat pulang nanti, pasti ada banyak genangan air karena habis hujan. Aku tau kamu nggak suka kalau sepatumu kotor terkena cipratan air." Setelah sepatunya terlepas, giliran dia melepas sepatu Risa.

"Kamu bisa pakai sepatuku dan memasukkan sepatu kamu ke dalam tas." Sambil memasangkan sepatunya ke kaki Risa dengan hati-hati, sedangkan dirinya sendiri bertelanjang kaki.

Melihat sikap perhatian Adrian, perasaan ragu yang tadinya menyelimuti seketika runtuh. Berganti dengan debaran jantung dan hatinya yang kembali hangat.

"Gimana bisa gue meragukan perasaan cowok yang sekarang lagi berlutut di depan gue?" Risa bertanya dalam hati.

Kalau saja Risa menuruti ego, saat ini mereka pasti bertengkar seperti biasa. Dia yang mudah cemburu dan berbuat tanpa pikir panjang hanya akan membuat Adrian lama-lama lelah, seperti kata Bastian. Selama ini Adrian selalu menerima kekurangannya lalu, kenapa ia tidak bisa berubah demi Adrian?

"Gimana hasil pertandingan kemarin?" Setelah diam cukup lama, akhirnya Risa bicara.

Risa sangat menyesal karena tidak hadir. Bukan hanya dirinya yang marah sebab Adrian membawa Yuri, tetapi laki-laki itu juga pasti kecewa Risa tidak datang. Mana mungkin Risa berani protes?

"Kami kalah," kata Adrian dengan suara datar. Dia belum juga mengangkat kepala walau tugasnya memasang sepatu sudah selesai. Menyembunyikan ekspresi di balik bahunya yang lebar.

"Maaf. Aku nggak bisa datang buat kasih kamu semangat."

Suara helaan napas panjang keluar dari mulut Adrian. Dia mengangkat wajahnya dengan senyuman tipis. "Bisa kasih aku pelukan?"

Tanpa membuang waktu, Risa langsung membungkukkan badan dan memeluk leher Adrian. Kepala laki-laki itu bersandar di bahu Risa seakan hanya gadis itu yang bisa menjadi tumpuan. Andai saja kemarin Risa datang, dia pasti bisa memeluk Adrian lebih awal. Memberi semangat sambil berbisik bahwa Adrian sudah melakukan yang terbaik.

Walau wajah Adrian tampak datar dan biasa saja, tetapi Risa yakin kekasihnya saat ini sangat sedih. Laki-laki itu sering mengatakan jika ingin memberi kemenangan di pertandingan terakhir mereka. Namun, mimpi itu tidak akan pernah terwujud. Setidaknya, mulai sekarang Risa akan menjadi pacar yang layak dan tidak membuat Adrian malu.


TBC

Main HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang