Hari itu, suasana kampus terasa lebih sunyi dari biasanya. Pagi yang biasanya dipenuhi oleh hiruk pikuk mahasiswa kini terasa sedikit sepi karena sebagian besar mahasiswa sedang menjalani ujian tengah semester. Mysha Delilah berjalan pelan di lorong kampus, buku-buku kuliahnya terselip di tangan, dengan pikiran yang tidak sepenuhnya fokus pada apa yang akan ia pelajari.
Sejak tatapan membara yang ia dapat dari Atlas Kallias, hari-harinya tidak lagi sama. Ada kekosongan yang merayap di antara pikirannya sebuah ruang yang hanya bisa diisi oleh kehadiran pria itu. Tatapan pria yang misterius, sikapnya yang dingin namun penuh rahasia, terus mengisi benaknya. Namun, dengan gadis pirang di samping Atlas beberapa hari yang lalu, Mysha berusaha keras untuk mengendalikan perasaannya.
"Dia sudah punya seseorang," pikir Mysha, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Aku nggak seharusnya terlibat."
Namun, hati tidak pernah sejalan dengan logika. Semakin Mysha berusaha melupakan Atlas, semakin kuat bayangan pria itu menyusup ke dalam benaknya.
Mysha berhenti di depan pintu perpustakaan. Tempat ini biasanya menjadi pelariannya ketika ia butuh ketenangan. Suasana hening, bau buku tua, dan suasana damai di dalam perpustakaan kampus selalu mampu menenangkan pikirannya. Meskipun hatinya sedang bergolak, dia yakin waktu yang dihabiskan di sini bisa membuatnya kembali fokus.
Saat melangkah masuk ke dalam ruangan luas perpustakaan, Mysha melihat beberapa mahasiswa yang duduk tenang dengan tumpukan buku di meja mereka. Suara bisik-bisik yang pelan bercampur dengan bunyi lembut halaman buku yang dibolak-balik. Dia menghela napas panjang, berharap kedamaian ini bisa menghilangkan beban pikirannya.
Namun, saat ia melangkah lebih dalam ke deretan rak buku yang berjajar rapi, langkahnya terhenti ketika melihat sosok yang tak asing lagi berdiri di sudut ruangan. Atlas Kallias, dengan postur tegapnya dan jaket kulit hitam yang sama, berdiri sendirian di antara deretan buku.
Mysha tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Atlas, di perpustakaan? Pria yang dikenal sering bergaul dengan geng motornya, merokok, dan mabuk, tiba-tiba terlihat di tempat seperti ini? Pemandangan itu begitu mengejutkan bagi Mysha, hingga ia harus memegang rak buku di dekatnya untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi.
Atlas tidak menyadari kehadiran Mysha. Dia berdiri dengan tenang, satu tangan menyelipkan buku ke dalam tasnya sementara tangan yang lain meraih satu buku dari rak, memeriksa judulnya sejenak, lalu meletakkannya kembali. Gerakannya pelan, tanpa terburu-buru, menunjukkan sisi lain dari dirinya yang jarang terlihat oleh siapa pun.
Mysha ingin berbalik, ingin melangkah pergi sebelum Atlas menyadarinya. Namun, kaki-kakinya seolah menancap ke lantai. Ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan sebuah keinginan untuk tetap berada di sana, mengamati sosok yang diam-diam selalu mengganggu pikirannya.
Namun, tanpa disangka, Atlas tiba-tiba berbalik dan tatapan mereka bertemu lagi. Mata biru Atlas yang tajam segera menyapu wajah Mysha. Untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Tak ada suara, tak ada gerakan, hanya mereka berdua yang saling menatap dalam keheningan perpustakaan.
Jantung Mysha berdetak semakin kencang. Ada debaran yang tak bisa ia kendalikan setiap kali Atlas menatapnya. Tatapan pria itu bukan sekadar tatapan biasa ada sesuatu di baliknya, sesuatu yang membuat Mysha selalu merasa terbakar oleh perasaannya sendiri.
Atlas melangkah mendekat, dengan gerakan yang pelan tapi penuh keyakinan. Seperti biasa, dia tidak menunjukkan banyak emosi di wajahnya. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini tatapan matanya lebih lembut, lebih dalam, seolah-olah dia ingin mengatakan sesuatu.
"Kamu di sini sendirian?" suara Atlas rendah, tapi sangat jelas di antara keheningan ruangan.
Mysha berusaha mengendalikan suaranya yang bergetar. "Iya, aku... cuma mau belajar."
Atlas mengangguk pelan, tatapannya masih terpaku pada Mysha. "Aku nggak nyangka kamu sering ke sini."
Mysha tertawa kecil, mencoba mengurangi ketegangan yang tiba-tiba melingkupi mereka. "Perpustakaan memang tempat yang bagus untuk melarikan diri dari keramaian, kan?"
Atlas tersenyum tipis. Ini adalah pertama kalinya Mysha melihat senyuman di wajah pria itu senyuman yang samar, namun begitu memikat. "Iya, benar," jawabnya, lalu pandangannya melayang ke rak buku di samping mereka. "Aku juga kadang datang ke sini. Tempat ini jauh dari kebisingan."
Kata-kata itu mengejutkan Mysha. Atlas, yang selalu dikenal sebagai pria yang suka dengan keramaian dan kebebasan liar, ternyata punya sisi lain yang lebih tenang dan tertutup. Dia bukan hanya seorang pemberontak yang suka ugal-ugalan, tetapi seseorang yang juga menghargai ketenangan.
"Mysha..." suara Atlas kembali terdengar, lebih pelan kali ini. Dia menatap dalam ke arah Mysha, dan untuk pertama kalinya, ada kelembutan di balik sikap dinginnya. "Kenapa kamu selalu melihat aku seperti itu?"
Pertanyaan itu langsung membuat Mysha tersentak. "Seperti apa maksudmu?"
Atlas menghela napas pendek, lalu menatap Mysha lebih dalam, seolah-olah dia ingin mengungkap sesuatu yang selama ini disimpan dalam hatinya. "Kamu selalu menatap aku seolah-olah kamu penasaran... tapi juga takut."
Jantung Mysha berdetak semakin cepat. Benarkah? Apakah selama ini tatapannya menunjukkan rasa penasaran dan kecemasan yang ia rasakan setiap kali melihat Atlas?
"Karena..." Mysha tergagap, mencari kata-kata yang tepat. "Aku nggak pernah benar-benar tahu siapa kamu, Atlas. Kamu terlihat seperti seseorang yang tak terjangkau, tapi di saat yang sama... aku merasa ada sesuatu yang berbeda tentangmu."
Atlas tersenyum tipis lagi, kali ini dengan sedikit kegetiran di wajahnya. "Mungkin karena aku memang nggak sejelas kelihatannya, Mysha."
Mysha terdiam, tatapan mereka kembali bertaut. Ada keheningan di antara mereka, tapi bukan keheningan yang canggung. Ini adalah keheningan yang penuh makna, keheningan di mana perasaan-perasaan tersembunyi mulai muncul ke permukaan.
"Atlas..." suara Mysha lirih, hampir seperti bisikan. "Kenapa kamu selalu terlihat seperti... menahan sesuatu?"
Atlas memandangnya dengan tatapan yang lebih tajam, namun masih ada kehangatan di dalamnya. "Karena aku nggak bisa mengungkapkan semuanya, Mysha. Ada banyak hal yang nggak bisa aku tunjukkan ke orang lain."
Mysha merasakan ada dorongan dalam hatinya untuk lebih dekat dengan pria ini, untuk memahami apa yang sebenarnya ada di balik sikap dinginnya. "Kamu bisa cerita padaku... kalau kamu mau."
Atlas tertawa kecil, tetapi tawanya penuh dengan kegetiran. "Aku bukan tipe orang yang gampang cerita, Mysha. Apalagi tentang hal-hal yang rumit."
"Tapi kamu nggak perlu pura-pura," jawab Mysha dengan suara lembut. "Aku di sini... kalau kamu butuh seseorang untuk mendengar."
Atlas terdiam sejenak, memandang Mysha dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada banyak hal yang ingin dia katakan, tapi tampaknya dia masih menahan diri. Namun, sebelum Mysha bisa menanyakan lebih jauh, Atlas merogoh sakunya dan mengeluarkan secarik kertas kecil.
Dia menyelipkannya ke tangan Mysha dengan cepat, lalu mundur perlahan. "Aku harus pergi," katanya singkat, lalu berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Mysha yang masih terpaku di tempatnya.
Mysha hanya bisa menatap punggungnya yang semakin jauh. Ketika dia akhirnya membuka kertas yang diberikan Atlas, hanya ada satu kalimat tertulis di sana:
"Kita akan bertemu lagi."
Dan dengan itu, Mysha tahu, pertemuan tak terduga ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar di antara mereka. Atlas mungkin masih menyimpan rahasia, tapi Mysha yakin, perlahan, pria itu akan mulai membuka dirinya sedikit demi sedikit, membiarkan Mysha masuk ke dalam kehidupannya yang penuh dengan misteri.

KAMU SEDANG MEMBACA
KILATAN RASA
RomanceMysha Delilah adalah gadis cantik dari keluarga terpandang, dikenal karena kecantikannya yang anggun, kepintarannya, dan sifat tegasnya. Di balik hidup yang sempurna itu, ada kekosongan yang tidak pernah ia sadari hingga pertemuannya dengan Atlas Ka...