Suara deru motor yang meraung keras memenuhi telinga Mysha, menembus kesunyian malam di ujung jalan. Ia berdiri di tepi trotoar, memandangi rombongan geng motor yang melintas dengan kecepatan tinggi. Di antara mereka, ada satu motor yang begitu ia kenali Atlas.
Perasaan tak nyaman muncul dalam hatinya setiap kali melihat Atlas berkumpul dengan geng motor itu. Ada bahaya di dalamnya, sesuatu yang gelap dan meresahkan, sesuatu yang selalu membawa Atlas menjauh dari janji-janji yang ia buat. Mysha tahu, Atlas terjebak dalam dua dunia yang berbeda satu dunia di mana ia mencintai Mysha dan ingin menjalani hidup yang lebih baik, dan satu lagi di mana ia masih terseret oleh pengaruh buruk geng motor, rokok, dan alkohol.
Mysha tahu betul bahwa Atlas sedang dihadapkan pada pilihan besar. Geng motor bukan hanya sekadar kumpulan teman-temannya, tapi juga keluarganya. Orang-orang yang selalu bersamanya sejak lama, yang memberinya rasa memiliki ketika hidup terasa kosong. Tapi Mysha tahu, selama Atlas masih terlibat dengan geng itu, mereka berdua tidak akan pernah bisa memiliki hubungan yang utuh.
Setelah beberapa menit, suara motor mulai mereda. Atlas mendekat, wajahnya berseri-seri, penuh semangat setelah malam yang penuh adrenalin. Tapi begitu melihat Mysha menunggunya di sana, tatapannya berubah. Wajahnya yang tadinya penuh gairah, perlahan menjadi serius. Ia tahu, Mysha pasti punya banyak hal yang ingin ia katakan.
"Lo nungguin gue?" tanya Atlas, membuka helmnya dan meletakkannya di atas motor. Dia menatap Mysha dengan ragu, sadar bahwa malam ini mungkin akan menjadi titik balik dalam hidupnya.
Mysha tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Atlas, matanya berusaha menembus hati pria yang ia cintai itu. "Kita perlu ngomong, Atlas," katanya akhirnya, suaranya lembut tapi penuh dengan keseriusan.
Atlas menelan ludah, lalu berjalan mendekat. Mereka berjalan sedikit menjauh dari jalan, mencari tempat yang lebih tenang di bawah cahaya lampu jalan yang redup.
Mysha akhirnya memulai. "Aku ngerti kenapa kamu masih di sana, di geng motor itu. Aku ngerti kamu punya sejarah dengan mereka, tapi... selama kamu masih ada di dalam itu, kamu nggak akan bisa benar-benar berubah. Dan kalau kamu nggak berubah, hubungan kita... aku nggak yakin kita bisa terus kayak gini."
Atlas mendesah panjang. "Gue udah janji buat berubah, Mysha. Gue nyoba, tapi nggak segampang itu buat ninggalin mereka. Mereka udah kayak keluarga buat gue."
"Aku ngerti, Atlas. Tapi kamu harus milih," jawab Mysha, matanya berkilat dengan kesedihan yang mendalam. "Kamu nggak bisa terus hidup di dua dunia. Satu kaki di dunia yang penuh kekacauan, dan satu kaki di dunia di mana kamu pengen berubah buat diri kamu dan aku. Kamu harus ambil keputusan."
Atlas terdiam sejenak, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari bibir Mysha. "Lo nggak ngerti, Mysha. Dunia gue rumit. Mereka bukan cuma teman. Mereka yang bantu gue waktu gue jatuh. Kalau gue ninggalin mereka, gue takut mereka bakal ninggalin gue juga."
Mysha memegang tangan Atlas, menggenggamnya erat. "Tapi mereka juga yang bikin kamu terus jatuh, Atlas. Mereka mungkin keluarga kamu, tapi kalau mereka benar-benar peduli, mereka nggak bakal ngerusak hidup kamu kayak gini. Aku di sini buat bantu kamu. Tapi aku nggak bisa terus-terusan nonton kamu menghancurkan diri kamu sendiri."
Tatapan Atlas mulai goyah, ada keraguan yang dalam di balik matanya. Ia tahu Mysha benar, tapi di sisi lain, ketakutan kehilangan geng motornya selalu menghantuinya. Geng itu adalah identitasnya, bagian dari siapa dirinya selama bertahun-tahun. Tapi ia juga tahu, Mysha adalah satu-satunya orang yang benar-benar peduli pada masa depannya.
Setelah beberapa saat hening, Atlas akhirnya berbicara. "Gue butuh waktu. Gue nggak bisa ninggalin mereka gitu aja. Tapi gue janji sama lo, Mysha, gue akan cari jalan keluar. Gue nggak mau terus hidup kayak gini."
Mysha menghela napas panjang. Itu bukan jawaban yang ia harapkan, tapi setidaknya Atlas tidak menutup mata terhadap kenyataan. "Aku cuma pengen kamu sadar, Atlas. Kamu nggak perlu pilih sekarang. Tapi pada akhirnya, kamu harus mutusin jalan kamu sendiri. Karena kalau kamu terus kayak gini, kita nggak akan pernah bisa bahagia."
Atlas meraih Mysha ke dalam pelukannya, memeluknya erat seolah-olah ia takut Mysha akan pergi kapan saja. "Gue nggak mau kehilangan lo, Mysha. Lo segalanya buat gue."
Mysha membalas pelukan itu, tapi di hatinya masih ada kekhawatiran yang mendalam. Ia mencintai Atlas dengan segenap hatinya, tapi ia juga tahu bahwa cinta saja tidak cukup. Pilihan Atlas akan menentukan segalanya apakah mereka akan terus bersama atau hancur oleh dunia yang Atlas pilih untuk dihidupi.
Malam itu, di bawah langit yang gelap, mereka berdua tetap diam dalam pelukan. Cinta mereka terbungkus dalam kabut ketidakpastian, di antara dua jalan yang masih harus dipilih oleh Atlas. Sementara geng motor terus mengintai, menunggu untuk menariknya kembali ke dunia yang selama ini ia kenal, Mysha hanya bisa berharap bahwa cinta mereka cukup kuat untuk membimbing Atlas menuju pilihan yang benar.

KAMU SEDANG MEMBACA
KILATAN RASA
RomantizmMysha Delilah adalah gadis cantik dari keluarga terpandang, dikenal karena kecantikannya yang anggun, kepintarannya, dan sifat tegasnya. Di balik hidup yang sempurna itu, ada kekosongan yang tidak pernah ia sadari hingga pertemuannya dengan Atlas Ka...