BAB 17. MYSHA DAN HATINYA

2 1 0
                                    

Malam semakin larut ketika Mysha duduk sendirian di dalam gedung tua itu. Suara bising dari pesta dan deru motor di luar terdengar semakin samar, seolah seluruh dunia terasing darinya. Matanya terarah ke pintu belakang, tempat di mana Atlas dan Kayla telah menghilang beberapa saat lalu. Dadanya berdegup kencang, tidak hanya karena perasaan tidak nyaman, tetapi juga karena keraguan yang semakin menghantuinya.

Pikirannya berputar-putar, tak bisa berhenti membayangkan apa yang sedang dibicarakan Atlas dan Kayla di luar sana. Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka? Kenapa Atlas selalu enggan terbuka soal masa lalunya dengan Kayla? Meskipun Atlas sudah berjanji untuk lebih jujur, Mysha merasa ada dinding tebal yang memisahkan mereka.

"Kenapa lo datang ke sini?" suara lembut namun tegas tiba-tiba menginterupsi pikirannya. Mysha menoleh dan melihat Leo, salah satu teman geng Atlas yang baru dikenalnya di pesta ini. Leo adalah sosok yang ceria dan energik, tetapi memiliki hati yang lembut dan gaya bicara yang apa adanya. "Tempat ini nggak cocok buat lo, Mysha. Ini bukan dunia lo."

Mysha menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberaniannya. "Aku di sini karena aku pengen ngerti lebih dalam tentang Atlas. Kalau ini bagian dari hidup dia, aku juga harus ada di sini."

Leo tersenyum tipis, tapi ada kilatan keprihatinan di matanya. "Lo yakin, lo bisa terima semuanya? Dunia geng motor itu nggak cuma soal kebebasan atau keliaran. Kadang, ada hal-hal yang lebih kelam di balik semua itu. Dan Atlas... dia terjebak di antaranya."

Perkataan Leo menembus hati Mysha. Ada sesuatu dalam nada bicara Leo yang membuat Mysha sadar bahwa dunia ini memang jauh dari apa yang biasa ia kenal. Namun, keinginannya untuk tetap berada di sisi Atlas membuatnya terus bertahan.

"Aku nggak tahu seberapa dalam Atlas terlibat," kata Mysha pelan, "tapi aku nggak akan lari. Aku sayang sama dia."

Leo menatap Mysha dengan tatapan simpati, tapi juga sedikit skeptis. "Cinta nggak selalu cukup, Mysha. Kadang, ada hal-hal yang kita nggak bisa ubah. Tapi, kalau lo yakin sama perasaan lo, lo harus siap terima apapun yang akan datang."

Beberapa menit berlalu, dan akhirnya pintu belakang terbuka. Atlas muncul, diikuti oleh Kayla. Wajah Atlas terlihat tegang, sementara Kayla tampak tenang, tapi ada sesuatu yang samar dalam sorot matanya. Tatapan mereka bertemu sejenak, lalu Atlas melangkah cepat menghampiri Mysha.

"Mysha, kita harus pergi," kata Atlas dengan nada tegas, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.

Mysha berdiri, merasa ada sesuatu yang janggal dalam sikap Atlas. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya saat itu juga. Dengan sedikit kebingungan dan kekhawatiran, ia mengikuti Atlas keluar dari gedung, meninggalkan pesta dan semua kebisingan di belakang mereka.

Saat mereka berjalan menuju motor Atlas, Mysha tak bisa menahan diri lagi. "Apa yang terjadi tadi, Atlas? Kenapa keliatan gelisah?"

Atlas terdiam sejenak, sebelum menghela napas panjang. "Nggak ada yang penting, Mysha. Cuma urusan geng yang nggak perlu lo tau."

Mysha merasakan dadanya sesak mendengar jawaban Atlas. Itu adalah kata-kata yang paling ia takutkan sebuah tanda bahwa Atlas kembali menarik diri, kembali menutup pintu di antara mereka. "Atlas, aku di sini karena gue pengen ngerti kamu lebih baik. Tapi kalau kamu terus-terusan ngumpetin sesuatu dari aku, gimana aku bisa yakin sama kita?"

Atlas menatapnya dengan tatapan penuh dilema. "Gue nggak mau lo terlibat lebih jauh dalam dunia gue yang ini, Mysha. Gue takut lo bakal terluka."

"Tapi aku udah terluka, Atlas!" Mysha akhirnya meledak. "Kamu terus-terusan ninggalin aku dalam ketidakpastian. Aku nggak bisa cuma nunggu di pinggir, sementara kamu berusaha jaga semuanya sendiri. Kita ini pasangan, bukan cuma kamu yang berjuang di sini."

Atlas terlihat tersentak mendengar kata-kata Mysha. Ia mendekat, mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Mysha. "Gue cuma nggak pengen lo ngerasa terjebak dalam masalah gue. Gue pengen lo aman."

"Tapi kamu nggak bisa jaga aku dengan ngejauh dari aku, Atlas," balas Mysha, suaranya kini lebih lembut tapi penuh kepastian. "Aku sayang sama kamu, dan aku mau ada di sisi kamu. Tapi kalau kamu terus-terusan nyimpen rahasia, aku nggak tahu sampai kapan aku bisa bertahan."

Tatapan Atlas melembut, terlihat ada pertempuran batin di dalam dirinya. "Gue janji, Mysha, gue bakal lebih terbuka. Gue cuma butuh waktu buat ngatur semuanya."

Meskipun janji itu terdengar tulus, Mysha masih merasakan kekhawatiran yang tak bisa ia hilangkan begitu saja. Hatinya terus bergejolak, berusaha memahami apakah ia bisa sepenuhnya mempercayai Atlas, atau apakah semua rahasia ini akan menghancurkan mereka suatu hari nanti.

Malam itu, saat Mysha berbaring di tempat tidurnya, pikirannya tak henti-henti memutar semua percakapan yang terjadi hari ini. Ia mencintai Atlas itu adalah satu hal yang tak pernah ia ragukan. Namun, cinta saja ternyata tidak cukup untuk menenangkan hatinya yang dipenuhi kekhawatiran. Di antara semua janji dan kata-kata manis, masih ada kabut gelap yang mengelilingi hubungan mereka, dan Mysha tak tahu seberapa lama ia bisa berjalan di dalam kabut itu tanpa kehilangan arah.

Dengan mata yang mulai berat, Mysha bergumam dalam hati. Ia harus mengambil keputusan. Apakah ia akan terus berjalan dalam ketidakpastian ini, ataukah ia harus menuntut lebih banyak kejelasan dari Atlas sekalipun itu berarti menghadapi kenyataan yang mungkin menyakitkan?

Untuk malam ini, Mysha memilih untuk memejamkan mata dan menyerahkan segalanya pada waktu. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu, suatu saat nanti, ia harus berhadapan langsung dengan semua rahasia yang tersimpan di balik tatapan Atlas, dan memutuskan apakah hatinya cukup kuat untuk menerima semuanya.

KILATAN RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang