BAB 11. DEBUT PERTENGKARAN

5 4 0
                                    

Hubungan Mysha dan Atlas kini terasa lebih dekat dari sebelumnya. Mereka memutuskan untuk tetap bersama, meski Mysha tahu bahwa jalan yang mereka tempuh tidak akan selalu mulus. Meski Atlas tidak sepenuhnya terbuka, setiap kali mereka bersama, ada tarikan kuat yang selalu membuat Mysha bertahan. Namun, semakin dalam hubungan mereka, semakin besar pula tantangan yang muncul.

Pagi itu, suasana di kampus terasa berbeda. Mysha dan Atlas yang biasanya saling bertukar senyum dan sapaan singkat kini tampak dingin satu sama lain. Semua berawal dari malam sebelumnya, ketika Atlas tiba-tiba menghilang tanpa kabar setelah mengatakan ia harus "menyelesaikan sesuatu." Mysha yang sudah mulai membuka diri pada Atlas merasa ditinggalkan begitu saja.

Ketika Mysha tiba di kantin tempat mereka biasa bertemu, Nadia dan Sasha sudah duduk menunggunya. Mereka berdua bisa melihat ekspresi wajah Mysha yang muram dan menduga bahwa sesuatu sedang tidak beres.

"Kamu nggak kelihatan seperti biasanya," komentar Sasha, menyipitkan mata, mencoba membaca wajah Mysha. "Ada yang mau kamu ceritain?"

Mysha menghela napas panjang, lalu duduk di kursi di depan mereka. "Atlas lagi aneh," ucapnya, mengalihkan pandangannya ke jendela, berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Nadia langsung penasaran. "Aneh gimana? Apa dia ngilang lagi?"

Mysha mengangguk pelan. "Iya. Kemarin dia bilang ada urusan penting, tapi nggak ngasih kabar sama sekali setelah itu. Aku nungguin sampai malam, tapi dia nggak hubungin aku."

Sasha dan Nadia saling berpandangan, lalu Lena berkata, "Kamu tahu gimana Atlas, kan? Dia memang kayak gitu, suka ngilang tiba-tiba."

"Tapi kenapa sekarang rasanya beda?" Mysha bergumam pelan. "Dulu aku bisa nerima, tapi sekarang aku ngerasa kayak ditinggalin. Aku nggak tahu apa aku bisa terus kayak gini."

Sasha meletakkan tangannya di bahu Mysha, mencoba menenangkan. "Mungkin kamu perlu bicara langsung sama dia. Jangan dibiarkan begitu aja, Mysha. Kamu harus tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Menjelang sore, Mysha memutuskan untuk menemui Atlas. Ia mengirim pesan singkat, meminta bertemu di tempat biasa. Tak lama kemudian, Atlas membalas dengan cepat, menyetujui pertemuan itu. Mysha merasa sedikit lega, namun di saat yang sama, perasaan gugup mulai menyergapnya. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Atlas, terutama tentang bagaimana perasaannya sekarang setelah mereka memutuskan untuk bersama.

Saat mereka bertemu di taman yang biasa mereka kunjungi, Mysha langsung merasakan ketegangan di antara mereka. Atlas tampak sedikit tegang, dan tatapannya kali ini terasa dingin.

"Apa yang sebenarnya terjadi kemarin?" tanya Mysha tanpa basa-basi, suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia rencanakan.

Atlas menatapnya, lalu menghela napas. "Ada urusan dengan geng. Gue nggak bisa ninggalin begitu aja."

Mysha merasa darahnya mulai mendidih. "Dan kamu nggak bisa kasih tahu aku? Nggak bisa kasih kabar sama sekali?"

Atlas tampak kesal dengan nada suara Mysha yang penuh tuntutan. "Lo tahu siapa gue, Mysha. Gue nggak bisa selalu kasih kabar setiap kali gue ada masalah. Kadang gue harus ngurus semuanya sendiri."

"Aku ngerti kamu punya masalah, Atlas," Mysha mencoba menahan emosinya, tapi suaranya mulai bergetar. "Tapi aku juga butuh tahu apa yang terjadi. Aku nggak bisa terus-terusan nunggu kamu yang tiba-tiba ngilang tanpa kabar. Aku nggak bisa terus-terusan dibiarkan kayak gini."

Atlas memalingkan wajahnya sejenak, seolah berusaha menahan diri untuk tidak merespon secara kasar. Namun, Mysha bisa melihat bahwa Atlas mulai kehilangan kesabaran.

"Ini bukan tentang lo, Mysha," ucap Atlas dengan suara lebih tinggi dari biasanya. "Gue nggak mau lo ikut campur dalam urusan ini. Gue cuma nggak mau lo terluka karena masalah-masalah gue."

"Tapi kamu terluka, Atlas!" Mysha mendekat, nadanya penuh emosi. "Kalau kamu terluka, aku juga akan terluka. Kalau kamu ngilang, aku ngerasa kamu ninggalin aku. Apa kamu nggak ngerti itu?"

Atlas terdiam, matanya menatap tajam ke arah Mysha, namun kali ini ada kekecewaan di sana. "Lo nggak ngerti apa yang gue hadapin, Mysha. Dunia gue nggak seperti yang lo bayangin."

Mysha merasa dadanya sesak. "Jadi kamu mau bilang aku nggak penting buat kamu? Apa aku cuma seseorang yang kamu hubungi ketika kamu butuh, terus kamu tinggalin gitu aja?"

Atlas menarik napas panjang, tampak bingung dan frustrasi. "Gue nggak pernah bilang lo nggak penting. Tapi gue nggak bisa janji kalau gue bisa jadi cowok yang selalu ada buat lo setiap saat. Hidup gue terlalu berantakan."

Mysha menatapnya dengan penuh luka. "Aku nggak butuh kamu sempurna, Atlas. Aku cuma butuh kamu jujur sama aku. Kamu bilang kita akan coba jalanin ini, tapi sekarang kamu malah menjauh."

Atlas terdiam lagi, matanya menatap tanah sejenak sebelum akhirnya ia mengangkat kepala. "Gue jujur sama lo, Mysha. Tapi gue juga jujur kalau gue nggak bisa kasih lo semua yang lo butuhin."

Mysha menahan napas, merasa seluruh tubuhnya gemetar. Ini bukan percakapan yang ia bayangkan ketika mereka memutuskan untuk melangkah bersama. Ia berharap bisa membicarakan perasaan mereka dengan lebih tenang, tapi malah terjebak dalam pertengkaran yang membuat semuanya terasa jauh lebih rumit.

"Kamu mau bilang apa, Atlas?" tanya Mysha, suaranya hampir berbisik. "Apa kamu nyesel kita bareng?"

Atlas terdiam cukup lama, sebelum akhirnya berkata, "Gue nggak nyesel. Tapi gue cuma takut lo bakal terluka lebih parah kalau terus bareng gue."

Kata-kata itu membuat hati Mysha bergetar. Ada kejujuran dalam ucapan Atlas yang membuatnya merasakan betapa berat beban yang ditanggung oleh pria itu. Namun, di saat yang sama, Mysha juga merasa lelah dengan semua tarik ulur ini.

"Aku nggak tahu harus bilang apa lagi," ucap Mysha pelan, air matanya mulai menggenang. "Aku cuma mau kamu ada buat aku, tapi kalau itu terlalu sulit buat kamu... mungkin kita memang nggak sejalan."

Atlas terdiam lagi, lalu ia berbalik dan memalingkan wajahnya. "Gue nggak mau lo pergi, tapi gue juga nggak mau lo terluka."

Mysha hanya bisa menatap punggung Atlas yang semakin jauh. Di saat itulah, ia merasa bahwa hubungan mereka kini berada di persimpangan. Meskipun cinta mereka begitu kuat, tarik ulur yang terus-menerus antara harapan dan realita mulai membuat segalanya terasa rapuh.

KILATAN RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang