Menjadi warga Indonesia raya atau disinggkat, Wir. Memang susah lepas dari serbuan disuruh kawin.
Untuk wanita, biasanya dimulai sejak mendapat kartu tanda penduduk. Permintaannya di momen ini masih santai. Masih disertai dengan canda tawa tipis-tipis disertai guyon basa-basi.
"Udah, belajar aja dulu. Raih cita-cita yang tinggi. Ngapain buru-buru kawin. Masa muda nggak datang dua kali."
Menginjak dua puluh lima tahun ke atas. Permintaan nikah mulai agak serius dan tidak lagi disertai senyuman basa-basi
"Ayo buru nikah, mumpung masih muda, biar nanti kalo punya anak nggak tua-tua amat. Lihat si A, anaknya udah masuk TK. Kamu kapan?"
Tahun berganti dan berada di awal usia kepala tiga.
Di momen ini, permintaan untuk menikah dari lingkungan, keluarga, dan teman, menjelma sama rata dengan ancaman pembunuhan.
"Lho? Belum nikah juga?"
"Belum Tante, hehe."
"Banyak milih sih ckckck. Nih, tali buat kamu."
"B-buat apa, Tante?"
"Gantung diri. Masih nanya."
Korban yang menjadi target buru-buru nikah di usia kepala tiga ini. Tidak akan pernah lagi menemukan nyaman dihidupnya.
Selalu risau, macam anak SD lupa bawa lem kayu di mata pelajaran prakarya. Cemas menanggung, tidak nyaman, agak sensitif, gampang menangis.
Sedikit-sedikit obrolan mengait pada desakan kapan married mengacaukan kenyamanan. Kumpul keluarga jadi super was-was. Lebaran niat kenyang makan opor ayam, malah kenyang makan sindiran.
Seolah di Indonesia, kalau tidak segera menemukan jodoh, maka status sosialnya akan setara dengan sapi gila.
Melongo, bolot, murung. Harus diikat dan dijauhi agar tidak menyeruduk warga sembarangan.
Tapi Aiden ... Dia beruntung tidak terlahir sebagai wanita. Dia adalah pria lajang sehat keuangan dan badan, yang memang kebetulan, sesuai kebutuhan cerita, dia dibuat belum dapat pasangan.
Di negeri wakanda, tidak seperti kaum hawa. Kaum Adam agak jarang mendapat paksaan untuk menikah.
Aiden pikir, hidupnya akan nyaman dari tuntutan mengingat dirinya adalah laki-laki.
Namun, dia lupa kalau itu sepuluh tahun lalu. Sekarang, usianya sudah kepala tiga dan beberapa tahun laki akan menjadi kepala empat.
Ini artinya, Aiden memasuki masa gawat. Segala macam rupa tekanan yang perempuan rasakan untuk segera menikah diusia kepala tiga. Satu persatu mulai Aiden alami semuanya.
"Pi, sabar dong. Aiden kan baru pulang. Masa langsung disodorin brosur kawinan sih."
"Siapa bilang ini brosur kawinan? Ini daftar perempuan yang harus kamu kencani. Sembarangan aja, Papi udah susah-susah melakukan riset dan ngumpulinnya."
Mata Aiden menyipit. Melihat nominal angka total dari daftar perempuan yang disodorkan Papinya.
"Tiga puluh enam? Banyak amat!"
"Ya, sesuai umur kamu. Kamu kan udah tua. Ibarat kelapa. Kamu jenis yang udah banyak santan. Nggak gurih, kurang kenyal, banyak serabut, dan keras."
Pening kepala Aiden mendengar bagaimana Adrian menggambarkan dirinya.
Adrian menyamakan anak tunggal kandungnya sendiri dengan kelapa. Ini tergolong penghinaan. Aiden sakit hati, tapi tak bisa berbuat banyak.
Memangnya tidak ada analogi lain yang lebih manusiawi? Jangan samain sama kelapa dong.