"Harus segera lapor polisi, Pak. Di parkiran ada kameranya nggak? Itu aja dijadiin barang bukti."
Mata Azura tampak malas melihat sosok yang sibuk telponan di depannya. Menghubungi keamanan hotel dan siapa saja untuk disalahkan.
Padahal ini semua terjadi karena salahnya yang menyorot Azura menggunakan lampu jauh.
Tidak tahu malu.
Kalau ada yang bisa di salahkan atas kejadian ini, tentu saja Aiden la biang utamanya.
"Udah nggak usah aja. Jangan diperpanjang," ucap Azura. Bibirnya menekuk cemberut bahkan sejak Aiden memaksa gadis itu masuk ke dalam mobil.
"Nggak bisa gitu, Ra. Kamu terluka. Kulit kamu sampai lebam dan lecet. Mereka harus didisiplinkan karena udah bikin kamu begini."
"Tck, aku malas. Aku mau pulang."
"Tunggu. Kamu belum diobatin. Luka kamu harus dikasih disenfenktan biar nggak infeksi."
"Aku bisa sendiri di rumah."
Azura turun dari kursinya dan mengambil tas siap untuk pulang. Namun, Aiden langsung mendekati gadis itu dan memegang pergelangan tangannya.
"Azura kamu harus diobatin. Jangan ngeyel. Tolong untuk kerja samanya."
Azura menarik tangannya dari genggaman Aiden dan menunjukkan wajah penuh penolakkan.
"Saya bisa sendiri. Saya mau pulang aja."
"Kita udah jauh-jauh ke klinik, obat-obatan ada lengkap di sini, nggak kayak di rumah kamu."
"Di rumah lengkap juga kok," bantah Azura dengan wajah judes.
Aiden sampai harus menarik napas dalam untuk menghadapi kekeras kepalaan gadis di depannya.
"Meskipun di rumah kamu obat-obatannya lengkap, tapi nggak ada dokter. Kamu nggak akan tahu langkah dan prosedurnya. Bisa-bisa nanti malah makin parah."
"Emangnya kamu tahu?"
Aiden menipiskan bibir. Agak tersinggung Azura memanggilnya dengan sebutan 'kamu'. Padahal laki-laki itu lebih nyaman kalau dipanggil 'Kak, Mas' seperti biasanya. Apa pun Aiden terima asal jangan 'Om'.
"Saya dokter kalo kamu mau tahu. Saya bahkan dokter spesialis kulit."
"Kecantikkan dong."
"Tck." Aiden berdecak. Mulai menunjukkan sorot tidak suka dibantahnya. "Jangan sok tahu. Kamu itu nggak tahu apa-apa."
"Memang! Aku kan emang nggak tahu apa-apa. Aku kan bloon, anak baru lulus SMA, objek buat kamu cium, dan nggak bisa ngapa-ngapain. Kemarin kamu udah bilang kok. Jadi nggak perlu ngulang informasi yang udah aku terima. Aku nggak senyinyir itu."
Ternyata benar dugaan Aiden. Azura marah soal apa yang dia katakan kemarin.
Sebenarnya, Aiden tidak bemaksud untuk berkata demikian. Laki-laki itu diselimuti emosi, kesal karena Adrian terus menekannya sejak dia pulang ke Indonesia.
Aiden stress. Lagi pula siapa yang tidak pusing kalau dituduh punya kelainan seksual. Dijajakan seperti barang dagangan ke semua rekan kerja. Seolah-olah Aiden ini bukan manusia saja yang tak bisa menentukan pilihan.
Dia sudah besar, sudah dewasa. Sudah bukan waktunya untuk didikte seperti anak kecil.
Tiga tahun menerima desakkan nikah bukan waktu yang sebentar. Semua orang yang ada di posisinya juga pasti akan meledak-ledak.
"Oh, iya, pantas aja informasinya harus diulang. Soalnya kan aku bloon. Iya deh yang paling dewasa," imbuh gadis itu lagi.
"Azura." Aiden menyebut lembut nama gadis itu. "Saya minta maaf kalau kamu merasa tersinggung sama apa yang saya bilang ke kamu kemarin. Saya--"