17. Modus lelaki kardus

132 11 4
                                    

Gandi tersenyum lebar membukakan pintu untuk atasannya, dia mempersilakan laki-laki itu masuk sebelum menyusul ke bangku supir untuk menyetir.

Pekerjaan sebagai sekertaris merangkap apa pun. Gandi yang siap siaga tak pernah mengeluh menemani Aiden kemana-mana.

"Pertemuan tahunan aja, kan, Gan?"

"Iya, Pak. Tapi biasanya juga sekalian ngomongin bisnis sama menjalin hubungan kerja sama. Silaturahmi lah istilahnya."

"Lama nggak?" Aiden menatap jam yang melingkar di pergelangan. Menentukan berapa lama dia akan ada di sana. Ada banyak hal yang harus Aiden kerjakan, dan lagi pula, Aiden ini tipe introvert. Tenaganya terkuras kalau mengobrol terlalu lama dengan topik yang membosankan, kecuali kalau sedang menghadap pasien.

"Paling dua sampai tiga jam, kalau Pak Aiden mau pulang duluan juga nggak apa-apa. Yang penting udah ngasih tunjuk wajah aja kalau perwakilan dari Maccalant hadir. Dulu Pak Adrian juga sering kok hadir, dia malah yang paling rajin. Soalnya Pak Adrian suka kue di hotel ini."

"Hmm." Aiden tak menanggapi serius.

Begitu sampai, dia keluar dari mobil. Menginjakkan kaki dan berjalan keluar. Sejenak, Aiden membetulkan jas yang dikenakannya sebelum melangkah, tapi satu sosok yang ada di depan mendadak menarik perhatiannya.

Aiden memilih berhenti lebih lama.

"Kenapa, Pak?"

"Saya kayak ... Kayak ngeliat orang yang saya kenal."

"Siapa?" Gandi bertanya penasaran. Dia ikut menatap ke depan, tapi yang dilihat Aiden sudah hilang.

"Bukan siapa-siapa, mungkin saya halusinasi aja."

Wajah Aiden cemberut. Berhari-hari dia terpikirkan Azura. Saat mandi, saat makan, saat rebahan. Kecuali saat bekerja, karena di saat itu saja Aiden fokus untuk menyelesaikan tumpukkan berkas yang menunggu.

Apa ini saking rindunya? Jadi Aiden mulai membayangkan gadis kecil aduhai itu di sini? Tapi masa sih?

"Ayo, Pak. Masuk. Acaranya udah mau di mulai."

Ada banyak tamu undangan yang hadir. Ruangan itu luas dan besar, karpet merah marun di gelar lebar dan panjang. Meja-meja dengan susunan makanan dan juga hiasan tampak menyenangkan untuk dilihat.

"Zura suka di sini, Nak? Apa Zura bosan?" Papi Azura bertanya khawatir.

"Azura senang kok, Pi."

"Kalau Zura bosan, bilang ke Papi, ya, Nak. Papi ada di sana sama yang lain. Zura mau ikut?"

Kepala Azura mengangguk. Dia dibawa oleh Papinya untuk dikenalkan dengan beberapa orang.

"Anak yang pertama, Pak?"

"Iya, namanya Zura."

"Zura kelas berapa sekarang?"

"Udah lulus, Om. Baru lulus sih lebih tepatnya."

"Oh, sama kayak anak saya, ya." Om Hadi, salah satu arsitek terkenal yang membangun hotel aikonik di Singapura berbincang semangat dengan anak kenalannya. "Om juga punya anak perempuan, namanya Nasya. Dia juga baru lulus dan mau kuliah di Belanda."

"Jauh juga, ya, Pak."

"Iya, dia maunya kuliah di sana, Pak. Saya juga khawatir sebenarnya mau ngelepasin dia, tapi Nasya kekeuh mau kuliah di luar negeri. Emang ada abangnya juga sih di sana."

"Oh, ada Abangnya juga?"

"Iya."

"Zura nanti mau kuliah dimana, Nak?"

Aiden Maccalant Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang