"Pacar kamu?" Aiden mengulang informasi paling menyakiti tahun ini dari Azura. Sensasi panas meletup-letup bergejolak di dalam dada. Aiden sampai pusing dan berharap apa yang barusan dia dengar adalah sebuah omong kosong, hoak, berita ecek-ecek palsu, dan mitos! "Nggak mungkin!"
"Mungkin aja, kenapa enggak. Kak Aiden nggak terima, huh?" Azura balik menantang, bertengger di pinggang dua tangannya, mendongak ke atas kepalanya.
"Kamu nggak boleh pacaran, kamu masih kecil."
"Ya, emang kenapa? Suka-suka aku dong."
"Nggak, nggak bisa." Aiden tak terima. Dia kembali menarik pergelangan tangan Azura. "Ayo kita pulang, saya antarin kamu sampai depan rumah."
Kembali terjadi adegan tarik menarik itu dan Galen juga ikut kembali mencegahnya. "Om, jangan culik Azura, Om. Azura pacar saya."
"Eh, apa-apaan kamu. Saya bukan om kamu!"
Pusing melihat pertengkaran. Azura memilih untuk menjauh dari keduanya. "Stopp!!, jangan ribut-ribut. Aku laporin satpam nanti. Udah, aku mau bayar buah-buahannya. Bergegas Azura menuju ke kasir, diikuti dua lelaki yang masing-masing dari mereka memberi sinyal persaingan.
Galen yang tadi tersanjung karena Azura menganggapnya pacar mendadak jadi posesif, itu juga alasan kenapa dia menyusul. Sementara Aiden, alasan dia menyusul entah apa. Kalau ditulis cemburu nanti dia protes, jadi ada baiknya ditulis atas nama kepedulian takut Azura diapa-apakan.
Teman-teman, tolong percaya saja dengan alasan Aiden menyusul. Dia tidak cemburu, dia adalah orang dewasa bertanggung jawab yang peduli. Catat itu! Terima kasih.
Sampai pada urutan Azura, sang kasir menghitung barang. Tak lama, jumlah biaya yang harus dibayar keluar. "Delapan juta, Kak."
"Oke."
"Biar saya aja yang bayar," kata Galen.
"Saya aja." Aiden menepis tangan Galen yang sedang memegang dompet, lalu mengeluarkan kartu mejik super mempesona dan aikonik miliknya, Black card pegasus. Mati berdiri kau, Len. Kau lawan lagi anak tunggal Maccalant, terplongo-plongo kau kan! Hah, dasar bocah lengkuas!
Bangga Aiden menunjukkan kekayaannya. Dia tak pernah norak, tak pernah alay. Tiga puluh enam tahun umur Aiden dan sedikit atau sekali pun lelaki dewasa usia matang itu tak berbangga ria dengan kekuatan uang yang dia punya. Baru sekarang saja.
Cinta memang bahaya teman-teman. Aiden yang dingin seperti kulkas dua belas pintu, menjelma jadi jamet dibuatnya. Menghipnotis, bikin lupa diri. Beracun sekali cinta ini. Bukan main!
Dar der dor! Biaya belanjaan Azura dibayar Aiden. Tersenyum miring pemilik kartu yang hanya dimiliki para orang kaya itu.
Azura berjalan menuju mobil. Pertandingan rebutan pembayaran telah berganti dengan rebutan membawa belanjaan. Dua kantung papper bag di bawa oleh masing-masing perserta. Aiden si bujang tua, dan Galen lelaki alim pandai mengaji.
Sampai di kendaraan milik Azura, dia berbalik, berkacak pinggang menghadap Galen dan Aiden. "Kesiniian belanjaan aku, aku mau pulang."
"Kamu bawa mobil sendiri." Sekarang kepanikkan Aiden berganti. "Kamu ini, saya udah bilang kan jangan bawa mobil lagi, Azura. Kamu masih lima belas tahun, belum punya sim."
Melirik mata Aiden pada rupa mobil itu. "Porche lagi, warna merah." Pilihan yang bagus. Mantap pol.
"Emangnya kenapa?"
"Nggak boleh, nanti kamu nabrak. Kamu mau berurusan lagi kayak kemarin. Beruntung itu saya dan saya baik hati. Kalau calon pengendara yang kamu tabrak bapak-bapak batak tempramen bagaimana?"