Tidak segampang yang orang pikirkan. Menikah bukanlah sesuatu yang asal. Cinta mungkin memang elemen utama, tapi hanya bermodalkan itu saja, tidak akan cukup membangun rumah tangga.
Ada banyak sekali mereka yang memutuskan bersama setelah yakin bisa hidup hanya karena saling menginginkan satu sama lain. Di mabuk asmara, dihipnotis bayang-bayang indah berumah tangga.
Punya anak, punya pekerjaan, lalu menjalani aktivitas bersama sampai tua.
Namun, untuk Aiden. Pernikahan tidak semudah itu.
Apa yang dia hadapi saat masih kecil dan bagaimana dua matanya merekam semua yang terjadi. Telah menimbulkan rasa takut dan khawatir yang cukup dalam.
Sepuluh tahun sejak kematian Maminya, Aiden masih sering tersentak begitu saja tengah malam.
Bayangan sepasang kaki yang tak menyentuh tanah dan juga ekspresi mengerikan karena terhentikan pasokan udara ke dalam paru-paru. Menciptakan rasa takut dan trauma yang besar.
Aiden takut gagal, takut mengulang takdir, takut apa yang menimpa Maminya, juga terjadi pada pasangannya.
Adrian saat itu terlalu sibuk bekerja. Sampai Aiden harus diserahkan pada personal asisten dan seorang psikiater yang rutin memeriksa kewarasan laki-laki itu.
Setiap malam, selama ribuan hari lamanya. Kepala Aiden selalu berisik dihantui oleh suara-suara tak kasat mata.
Membuatnya ketakutan sendiri, membuatnya dibayang-bayangi oleh kematian Maminya yang mengenaskan.
Seluruh keluarga membicarakan itu dan menunjukkan simpati, tapi pada akhirnya, tak pernah ada yang benar-benar peduli. Termasuk Adrian sendiri.
Apa yang mereka pedulikan hanya perusahaan dan kelangsungan bisnis keluarga yang harus melampaui pesaing terberat mereka, Mattias.
Ini sangat mengecewakan, terlalu berat untuk ditanggung anak delapan tahun. Dimana saat ibunya meninggal. Semua orang hanya bersedih di hari pemakaman. Sisanya, masing-masing melanjutkan hidup dan melupakan.
Dan selama itu pula, untuk meredam kebisingan di kepala. Aiden melampiaskannya dengan belajar dan terus belajar.
Tak peduli kadang dia melakukannya sampai larut malam hingga membuat laki-laki itu sering tertidur lelap akibat terlalu lelah.
Ini adalah yang terbaik. Dia harus tetap waras dan itu lah satu-satunya jalan.
Sekarang jam menunjukkan pukul tiga pagi. Aiden masih terjaga. Dua matanya menatap nyalang ke langit-langit kamar.
Sudah berjam-jam dia terus menatap lampu di sudut ruangan. Sempat laki-laki itu bangkit dan membaca buku, tapi bayangan wajah Azura dan apa yang gadis itu pikirkan saat memutuskan pergi tanpa pamitan. Menganggu pikiran Aiden.
"Mungkin besok aku harus ketemu sama dia. Ini nggak benar, ini harus diselesaikan dengan kedamaian," ucapnya. Lalu botol putih dengan namanya sendiri di tengah, menuangkan beberapa pil ke telapak tangan dan meminumnya.
Dia butuh tidur untuk bisa mengumpulkan tenaga menjalani hari esok.
***
"Mau kemana anak Papi? Mau bikin orang mati kejang di jalan, ya?"
"Kenapa orang mati kejang di jalan, Pi?"
"Karena kamu terlalu cantik."
Azura mengulum senyum, merasa bahagia menerima pujian dari Papinya untuk ke ratusan ribu kali.
Sejak kecil, mungkin sejak baru lahir. Azura selalu disiram macam-macam kata-kata menyenangkan.
Baik soal fisik, prestasi, kegiatannya, sampai ke percobaan memasak--yang sebenarnya memiliki hasil mengerikan.