16. Ilmu agama lo benerin, Den.

100 9 0
                                    

"Emangnya Azura bodoh, ya, Pi?"

"What a nonsense. Zura anak perempuan Papi yang paling pintar dibanding yang lain."

"Emangnya Papi punya anak perempuan lain? Kan cuma Azura?"

"Iya, juga." Papi Azura termenung sejenak. Dia menatap ke depan melihat dua anak laki-lakinya yang bermain basket tapi dengan sentuhan kekerasan.

Zuko terbilang keras, mudah emosi, dan cemburu. Sementara Zaki, anaknya yang paling bungsu itu, aduhai sekali. Bicaranya jarang, tampangnya diam, tapi kalau soal pelajaran, Zaki jauh lebih baik ketimbang Zuko yang seluruh hidupnya dihabiskan bermain game

Namun bukan berarti Zuko sendiri bodoh, hanya saja, Zaki yang kelewat pintar.

Tapi kalau dibandingkan, Zuko dan Zaki tetap saja memiliki sisi seperti langit dan bumi. Si tenang dan si pembuat onar. Papi Zura curiga kalau Zaki diam-diam adalah kriminal sama seperti dirinya dan anak keduanya, cuma dia sembunyikan saja.

Tak bisa dicegah, karena Papi Azura sendiri termasuk dalam komplotan Zuko yang kriminal, dan Zaki lebih dekat dengan Maminya yang serupa sekali sifat mereka. Atau mungkin kakeknya.

Mengingat Kakek Zuko. Dahi Papi Azura berkerut, dia benci membayangkan wajahnya. Kalau kebiasaan begini, nanti lama-lama Papi Azura menganggap Zaki adalah Ayahnya yang galak itu. Papi Azura tak mau. Zaki kan anaknya.

Susah payah Papi Azura membuat Zaki dan Zuko dengan berbagai gaya, masa mirip Kakeknya. Itu tidak boleh.

"Aku punya ide."

"Apa?" Azura menoleh, tapi Papi Azura malah menatap pada istrinya yang datang membawa perlengkapan berkebun.

Dia sudah memakai sarung tangan, membawa ember kecil, topi bundar besar, dan juga sebuah sekop. Mata Mami Azura memandang suami dan anaknya yang sedang duduk di gazebo taman belakang, berhadapan langsung dengan lapangan basket dimana dua anak kembarnya bermain.

"Bolanya jangan sampai ke kebun Mami, ya! Awas kalau sampai kena tanaman. Mami belah bolanya, sekalian kalian juga."

"Zaki, Mi, yang sering. Dia ngaco kalau main basket. Agak bloon juga, mwoahahaha."

Zaki seperti biasa diam saja dituduh kakaknya. Dia memantulkan bola basket dan melempar ke arah ring. Masuk, itu terhitung point dan ambisi Zuko untuk tak mau kalah saing mulai bangkit.

Mereka rebut-rebutan bola lagi dan Zuko mulai dorong-dorongan. Dia tidak bisa kalau bermain tidak pakai kekerasan. Butuh satu jeritan lepas dari Maminya untuk menghentikan perkelahian dua manusia sama rupa tapi beda gaya rambut itu.

Papi Azura yang punya ide, katanya, "Biar bisa dibedakan, Sayang. Zuko rambutnya disisir ke kiri, Zaki nggak usah disisir. Biarin aja dia kayak landak, dan kalau bisa, nggak usah dipakein baju. Mwoahahaha."

Mami Azura menanggapi dengan gelengan. Dia menyisir rambut anaknya berlawanan arah dengan Kakak kembarnya, Zuko. Yaitu di kanan. "Omongan bapak kamu nggak usah di dengar, ya, Zaki. Dia emang suka ngomong sembarangan."

Zaki diam saja seperti biasa, menjelma gagang pintu.

"Ayo kita bercocok tanam lagi, Sayang." Papi Azura menyambut kedatangan istrinya di halaman belakang dengan ceria. Ide itu diucapkan dengan lantang dan kencang, sampai Azura ikut dengar.

"Bercocok tanam apa?"

"Kita bikin adik lagi untuk Zaki."

"Nggak bisa." Mami Azura menggeleng. "Aku mau berkebun. Mau betulin tanaman cabai aku yang kemarin dirobohin angin."

"Aku ikut." Papi Zura berdiri dan mengekori istrinya. Dia melompat riang sebelum memeluk dari belakang dan mulai menempel di punggung.

Hari-hari Zuko, Zaki, dan Azura selalu melihat orang tuanya berdempetan. Kalau Papi Azura sudah pulang dari kantor, kegiatannya akan selalu menyatu dengan istrinya.

Aiden Maccalant Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang