Sweet Memories.

519 46 1
                                    

Di sebuah ruang rapat yang luas dan modern, Jaehyun duduk di meja panjang dikelilingi oleh rekan-rekannya. Mereka sedang membahas proyek besar yang akan diluncurkan bulan depan. Sebagai kepala tim, Jaehyun berusaha tetap fokus, mendengarkan pendapat dan saran dari setiap anggota timnya.

Namun, di tengah suasana serius itu, suara anak kecil yang ceria memecah konsentrasi. “Ayah!” teriak Jeno, yang baru saja berusia lima tahun, berlari masuk dengan langkah riang.

Jaehyun menoleh, terkejut melihat anaknya berdiri di ambang pintu dengan wajah polos penuh rasa ingin tahu. “Jeno, sayang, kok bisa ada di sini? Ayah lagi rapat, nak. Bubu di mana?” tanya Jaehyun dengan lembut, meskipun matanya menyiratkan sedikit keraguan.

“Bubu di parkiran sama adek kembar dan dedek bayi. Tapi kenapa Ayah nggak ajak Kak Jeno ikut rapat?” tanya Jeno dengan ekspresi serius yang menggemaskan. Dia mengangkat satu alis, seolah-olah rapat itu seharusnya bisa dihadiri semua orang.

Jaehyun tidak bisa menahan senyumnya. “Karena ini rapat kerja, sayang. Bukan untuk bermain,” jawabnya sambil berusaha tetap fokus.

“Tapi Ayah bisa bawa Kak Jeno ke sini!” Jeno berlari mendekat dan memanjat ke kursi di samping Ayahnya. “Ayah, Ayah! Aku punya gambar buat Ayah!” Dia mengeluarkan kertas dari saku celananya—gambar rumah dengan langit biru dan matahari besar, lengkap dengan dua orang yang melambai.

Rekan-rekan Jaehyun di meja rapat tidak bisa menahan tawa melihat tingkah Jeno. “Wah, gambar yang bagus, Jeno! Keren banget!” puji salah satu anggota tim, ikut terhibur.

Jaehyun menggelengkan kepalanya, mencoba mengembalikan fokus rapat. “Kak Jeno, ini rapat penting. Nanti Ayah lihat gambarnya, ya?”

“Tapi… Ayah janji, kan?” Jeno menyipitkan mata dan menyilangkan tangannya di dada, meniru gaya serius Ayahnya.

Akhirnya, Jaehyun tidak bisa lagi menahan tawanya. “Oke, janji. Setelah rapat, Ayah akan lihat gambarnya, terus kita main. Setuju?”

“Yay!” Jeno bersorak gembira, mengangkat tangan ke udara.

Dengan senyum, Jaehyun mencoba melanjutkan rapatnya, sementara Jeno duduk manis di sampingnya, sesekali mencuri perhatian dengan gerakan lucunya. Dalam hati, Jaehyun merasa bersyukur—meskipun rapat terganggu, kehadiran Jeno membawa keceriaan yang tak ternilai.

Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Dua lagi bocah kecil masuk sambil membawa mainan mereka, suara mereka yang melengking kembali menarik perhatian seluruh ruangan.

“Kakak Nyenyo ingyalin Uchan!” Sungchan, yang pertama kali berbicara, berusaha memanjat kursi Jeno, sementara Beomgyu—kembarannya—fokus dengan boneka bergerak yang mereka letakkan di tengah meja rapat.

Melihat tingkah anak-anak Jaehyun yang terlalu menggemaskan, semua orang di ruangan tak bisa menahan tawa dan rasa gemas.

Jaehyun menghela napas, memperhatikan ketiga anaknya. Dia mendekati mereka dan berkata, “Sayang, kemari sebentar.”

Ketiganya langsung menoleh, memperhatikan Ayah mereka.

“Sayang-sayang Ayah. Kalian mau main sama Ayah, ya?” tanya Jaehyun, dan mereka mengangguk serempak. “Habis ini kita main, tapi tunggu Ayah selesai meeting, ya? Mau, kan?”

Ketiga anaknya langsung menggeleng serempak.

Jaehyun menghela napas lagi, kali ini dengan kesabaran lebih. “Tapi Ayah punya tanggung jawab ke teman-teman Ayah, sayang. Coba lihat, mereka semua lagi nunggu Ayah buat lanjut kerja.”

Anak-anaknya memandang ke arah rekan-rekan Jaehyun, yang juga ikut mengangguk, mencoba memberikan dukungan.

“Ayo, sebentar lagi aja. Setelah itu kita bisa main sama-sama, setuju?” Jaehyun menambahkan dengan senyum lembut.

Sweet Memories.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang