Sweet Memories.

371 23 2
                                    

Taeyong duduk di sudut ruang keluarga yang tenang. Malam semakin larut, dan hanya ada suara detak jarum jam yang terdengar samar. Ruangan yang biasanya ramai oleh canda tawa anak-anak kini terasa sunyi. Lampu gantung di atasnya memberikan cahaya lembut, menyelimuti ruangan dengan kehangatan, namun kehangatan itu tidak menjangkau hatinya yang sedang resah.

Di hadapannya, secangkir teh yang sudah lama mendingin tergeletak tak tersentuh. Sudah berapa lama ia duduk di sana, tenggelam dalam pikirannya, ia pun tak tahu. Ia mencoba mengatur napas, namun rasa sesak di dadanya tak kunjung hilang. Sebuah beban yang selama ini ia coba abaikan, malam ini tumpah begitu saja.

Selama beberapa hari terakhir, Taeyong merasa ada sesuatu yang salah—bukan di sekitar, melainkan dalam hatinya. Sebagai ibu dari lima anak, ia selalu berusaha menjadi orang tua yang baik, yang adil dalam memberikan kasih sayang. Namun belakangan, ia merasa ada yang luput. Sion, anak bungsu mereka yang baru berusia tiga tahun, selalu mendapatkan perhatian lebih karena masih kecil dan membutuhkan banyak perhatian. Mark, anak sulung mereka yang sudah berusia enam belas tahun, berada di usia krusial dan membutuhkan arahan lebih. Namun, bagaimana dengan Jeno, Beomgyu, dan Sungchan? Apakah mereka mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang sama?

Taeyong tahu bahwa ketiga anaknya itu tidak pernah mengeluh. Jeno, yang berusia lima belas tahun, selalu menjadi anak yang bertanggung jawab dan penuh kasih sayanf. Beomgyu, yang berusia tiga belas tahun, ceria dan pandai menyesuaikan diri. Sementara itu, Sungchan—sang kembaran, cenderung mandiri dan jarang meminta perhatian khusus. Namun justru itulah yang membuat Taeyong merasa bersalah. Ia takut bahwa meski anak-anaknya tidak mengeluh, jauh di dalam hati mereka, mungkin saja ada perasaan terabaikan.

Ia menggigit bibir bawahnya, membayangkan bagaimana wajah Jeno, Beomgyu dan Sungchan—anak-anak yang jarang meminta perhatian, tapi mungkin menyimpan perasaan mereka sendiri. Bagaimana jika selama ini mereka merasa dilupakan? Taeyong tidak bisa menahan rasa bersalah yang menyelimuti dirinya.

Saat sedang tenggelam dalam pikirannya, Taeyong mendengar suara langkah kaki mendekat. Jaehyun, suaminya, baru saja menyelesaikan urusan pekerjaan di ruang kerjanya dan masuk ke ruang keluarga. Melihat Taeyong yang duduk termenung sendirian di sofa, Jaehyun langsung menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

“Bubu?” Jaehyun memanggil lembut, mendekati Taeyong. “Kamu lagi apa? Kok sendirian di sini?”

Taeyong menoleh sedikit, menatap Jaehyun dengan mata yang penuh kekhawatiran. “Nggak apa-apa,” jawabnya pelan, meski jelas bahwa pikirannya sedang kacau.

Jaehyun duduk di samping Taeyong, merangkul bahunya dengan lembut. Ia tahu Taeyong selalu sulit terbuka jika sedang memendam sesuatu. “Kamu bisa cerita sama aku, Bubu. Apa yang bikin kamu resah?”

Taeyong menghela napas panjang, mencoba meredakan perasaan yang bergemuruh di dadanya. “Aku lagi mikir... soal anak-anak,” ucapnya akhirnya, suaranya terdengar sedikit gemetar.

Jaehyun menatap Taeyong dengan penuh perhatian. “Apa yang kamu pikirin tentang mereka? Mereka semua baik-baik aja kok.”

Taeyong menggeleng pelan, menunduk. “Aku nggak yakin, Jaehyun. Aku merasa aku nggak adil sama mereka. Aku takut aku nggak kasih perhatian yang cukup... terutama buat Jeno, Beomgyu, sama Sungchan.”

Jaehyun mengerutkan kening, merasa bingung. “Kenapa kamu bisa mikir gitu? Aku lihat kamu selalu kasih perhatian ke mereka semua.”

Taeyong terdiam sejenak, matanya fokus pada cangkir teh yang sudah dingin. “Sion masih kecil, dia butuh perhatian lebih. Aku ngerti itu. Dan Mark... dia lagi di masa-masa remaja yang sulit, jadi aku sering habiskan waktu buat bantu dia. Tapi aku takut, Jeno, Beomgyu sama Sungchan nggak dapet perhatian yang sama. Mereka nggak pernah ngomong, tapi aku takut mereka ngerasa diabaikan.”

Sweet Memories.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang