Cerita ini bukan bagian dari ‘Sweet Memories’ jadi apabila kamu tidak berkenan untuk membacanya tidak masalah. Terima kasih atas pengertiannya!
.
Pukul sepuluh malam, hujan baru saja reda, menyisakan jejak basah di sepanjang jalan setapak menuju pinggiran kota Seoul. Udara malam yang dingin menusuk kulit, diiringi aroma tanah basah yang menguar, menambah kesan melankolis yang menyelimuti suasana. Sepi, hanya terdengar suara langkah kaki Jaehyun yang berat, menyusuri jalanan kecil yang kosong, seperti hidupnya—tanpa arah, tanpa tujuan. Langit di atasnya kelabu, nyaris hitam, menyembunyikan bintang-bintang yang entah sejak kapan tak lagi ia pedulikan.
Sudah lama sekali Jaehyun merasa seperti ini—hampa. Kehidupannya berjalan sebagaimana mestinya, namun ia tak lagi merasa hidup. Terlalu banyak yang berubah, atau mungkin terlalu banyak yang ia hilangkan di sepanjang jalan. Ia tak lagi tahu siapa dirinya. Ada perasaan tak terungkap yang menyiksa batinnya setiap malam, tapi ia tak pernah bisa mengartikulasikannya. Semuanya berputar-putar dalam pikirannya tanpa solusi. Hingga akhirnya, seperti malam-malam sebelumnya, ia memutuskan untuk berjalan tanpa tujuan, berharap menemukan sesuatu yang bisa memberinya sedikit kedamaian.
Langkahnya terhenti di depan sebuah kafe tua di ujung jalan. Kafe itu terlihat hangat dari luar, lampu kuning yang temaram memancarkan cahaya lembut melalui jendela besar. Jaehyun memandang sejenak, merasa tertarik meski tak mengerti kenapa. Mungkin karena tempat itu tampak berbeda dari kesehariannya—tenang, jauh dari keramaian yang biasa mengelilingi hidupnya.
Dengan sedikit keraguan, Jaehyun mendorong pintu kafe yang berderit pelan. Begitu masuk, ia disambut oleh wangi kopi yang samar dan suara percakapan rendah dari beberapa pengunjung yang masih ada. Matanya menyapu ruangan, mencari tempat duduk kosong, namun pandangannya terhenti pada sosok yang tak asing di pojok ruangan.
Taeyong.
Seseorang yang dulu selalu hadir dalam hidupnya, tapi sekarang hanya menjadi kenangan yang buram. Taeyong duduk di pojok dengan sebuah buku terbuka di depannya, namun pandangannya tak tertuju pada halaman yang terbuka. Matanya kosong, seperti terjebak dalam pikirannya sendiri, sama seperti Jaehyun. Untuk sesaat, Jaehyun merasa waktu berhenti. Ada dorongan untuk pergi, untuk menghindar, namun ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Taeyong. Seakan ada magnet yang menariknya, memaksanya mendekat.
Jaehyun menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberaniannya, lalu melangkah mendekati meja di mana Taeyong duduk. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ia sedang berjalan menuju masa lalu yang sudah lama ia tinggalkan namun tak pernah bisa benar-benar ia lupakan.
“Taeyong,” sapanya pelan ketika ia sampai di depan meja. Suaranya terdengar serak, lebih karena rasa canggung yang sudah lama tak ia rasakan daripada karena dinginnya malam.
Taeyong mendongak perlahan, matanya bertemu dengan Jaehyun. Ada kejutan sejenak dalam tatapan itu, namun dengan cepat tergantikan oleh sesuatu yang lebih sulit dijelaskan—sebuah keletihan yang dalam, jauh di dalam mata itu. “Jaehyun…” jawab Taeyong pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menatap Jaehyun seolah sedang berusaha memastikan bahwa yang berdiri di hadapannya benar-benar nyata, bukan ilusi dari pikirannya yang lelah.
Jaehyun berdiri canggung sejenak, tidak tahu harus berkata apa. Hanya keheningan yang melingkupi mereka, sebuah keheningan yang terasa berat dan penuh oleh hal-hal yang tidak pernah mereka ucapkan. Hingga akhirnya Jaehyun bertanya dengan suara yang rendah, “Boleh aku duduk?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Memories.
Teen FictionTentang keluarga yang memiliki berbagai momen yang menyenangkan untuk dikenang bersama.