Chapter 3: A Timely Intervention

171 29 1
                                    

Sudah beberapa minggu sejak Freya pindah ke apartemen berhantu itu, dan meskipun awalnya terasa aneh tinggal bersama hantu, semuanya sudah menjadi semacam rutinitas. Freya terus menghadiri kelas sastra, mengerjakan tugas, dan menghadapi kekacauan kehidupan universitas, sementara Fiony muncul dan menghilang dari pandangan, sesekali menggoda atau mengusiknya. Hubungan mereka, meskipun tidak biasa, terus berkembang.

Freya telah mempelajari lebih banyak tentang kepribadian Fiony—cerdas, suka bermain, terkadang sedikit murung—tetapi masih ada banyak celah dalam ingatannya yang membuat Fiony gelisah. Freya telah berjanji untuk membantu, tetapi mereka belum membuat banyak kemajuan. Sementara itu, mereka berdua mencoba hidup berdampingan dengan damai.

Suatu sore, setelah seharian penuh mengikuti kelas, Freya memasuki apartemen dan mendapati Fiony mondar-mandir gelisah di dekat jendela.

"Ada apa denganmu?" tanya Freya sambil melempar tasnya ke sofa.

Fiony melirik, ekspresinya tampak tegang. "Ada yang salah."

Freya mengangkat alisnya. "Salah bagaimana?"

"Ada gadis—Jessi. Dia lagi dalam masalah. Kamu pernah lihat dia sebelumnya, kan? Gadis yang selalu menggambar di dekat air mancur kampus?"

Freya berkedip, sejenak bingung. Dia memang melihat Jessi di sekitar kampus. Dia termasuk tipe yang artistik, selalu membawa buku sketsa, jari-jarinya sering kali kotor karena arang atau cat. Namun, mereka tidak pernah berbicara lebih dari beberapa patah kata satu sama lain. Freya tidak punya kebiasaan untuk terlibat dalam kehidupan orang lain—terutama orang asing. Dunianya sudah cukup rumit dengan Fiony.

"Ya, aku tahu siapa yang kau maksud," kata Freya. "Kenapa kau peduli?"

Fiony mendekat, matanya menyipit. "Aku melihatnya hari ini. Ada seorang pria—konon katanya seorang kolektor seni. Dia mendekatinya, mulai berbicara manis tentang bakatnya, potensinya, mengatakan dia ingin membeli karyanya. Tapi ada sesuatu yang aneh tentang dia."

"Seperti apa?" ​​tanya Freya, sudah merasakan ke mana arahnya.

"Aku bisa lihat niatnya," kata Fiony, suaranya tajam. "Itu buruk. Dia tidak tertarik dengan seninya. Dia ingin menipunya. Dia memangsa seniman muda seperti dia, membuat mereka menjual karya mereka dengan harga murah, lalu menjualnya dengan harga mahal. Aku pernah melihat orang seperti dia sebelumnya."

Freya bersandar di pintu, menyilangkan lengannya. "Baiklah, tapi apa hubungannya itu denganku?"

Mata Fiony berkilat kesal. "Hanya kau yang bisa melakukan sesuatu. Jessi tidak tahu dia dijebak. Jika kau tidak menolongnya, dia akan kehilangan segalanya."

Freya mendesah berat. "Fiony, aku hampir tidak mengenal gadis itu. Dan sejujurnya, ini bukan masalahku."

"Freya," kata Fiony, suaranya melembut. "Aku tahu kau suka menjaga jarak dengan orang lain, tapi ini penting. Jessi orang baik. Dia tidak pantas diperlakukan seperti ini."

Freya ragu-ragu. Fiony benar—dia memang suka menjauhi urusan orang lain. Hidup lebih sederhana dengan cara itu. Namun, dia juga tahu bagaimana rasanya dimanipulasi, dikhianati kepercayaannya. Dan Fiony, terlepas dari semua ejekan dan keberaniannya, benar-benar tampak khawatir.

"Apa sebenarnya yang kauinginkan dariku?" tanya Freya akhirnya, suaranya terdengar pasrah.

Fiony menyeringai, sedikit kenakalannya yang biasa muncul kembali. "Bicara saja padanya. Peringatkan dia tentang pria itu. Mungkin kamu bisa membuatnya takut."

Freya mengerang, tahu bahwa ia akan menyesali ini. Namun, ia tidak dapat menyangkal bahwa Fiony ada benarnya. Jessi tampaknya bukan tipe orang yang akan menangani situasi seperti ini sendirian.

Bound by Love, Separated by Death [Frefio]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang