04. Profesor Baru

42 4 0
                                    

Vote + Like + Komen

***

Di Great Hall yang penuh cahaya lilin, Diana Malfoy duduk dengan santai di meja Slytherin, sesekali melirik ke arah meja guru.

Malam ini ada sedikit kegelisahan di antara para siswa, karena Profesor Dumbledore berdiri untuk memperkenalkan pengajar baru.

Diana memperbaiki jubahnya sambil mendengarkan.

"Hari ini, kita menyambut profesor baru untuk mata pelajaran Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam," kata Dumbledore dengan suara tenang. "Profesor Remus Lupin."

Seorang pria berpenampilan lusuh dengan pakaian yang sedikit usang berdiri. Senyumnya ramah, tetapi wajahnya tampak lelah, dan itu langsung menarik perhatian Diana.

Dia berkerut sedikit, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kenapa dia yang dipilih?, pikirnya.

Kenapa bukan Snape? Snape jelas lebih pantas.

Draco, yang duduk di sebelahnya, langsung mencibir, dan Diana sudah tahu apa yang akan keluar dari mulutnya.

"Oh, lihat, Hogwarts benar-benar putus asa. Mereka memilih pengemis untuk mengajar kita. Apakah mereka tidak bisa menemukan siapa pun yang lebih berkelas?"

Diana tersenyum tipis, mengangguk setuju. "Aku juga tidak mengerti kenapa mereka tidak memilih Snape. Dia sudah lama menantikan posisi itu," katanya pelan, masih merasa bingung.

Snape adalah salah satu penyihir paling berbakat yang dia kenal, dan dia tahu Snape lebih dari mampu untuk posisi tersebut. Namun, kali ini Hogwarts memilih seseorang yang tampak tidak terurus, dan itu membuatnya gelisah.

Suasana di sekeliling mereka mulai ramai lagi setelah perkenalan Lupin. Diana sedang tenggelam dalam pikirannya ketika suara Pansy Parkinson terdengar dari seberang meja.

"Diana, di mana kamu saat perjalanan ke kastil tadi? Aku tidak melihatmu di kereta," tanya Pansy, dengan nada penasaran.

Diana menghela napas panjang, ingat kembali kejadian yang sedikit membuatnya kesal.

"Aku terjebak di kereta dengan singa-singa liar... Gryffindor," jawabnya dengan nada malas.

Pansy menutup mulutnya, tertawa kecil. "Astaga, bersama Gryffindor? Bagaimana itu bisa terjadi?" tanyanya, seolah tidak percaya.

Sebelum Diana bisa menjawab, Draco sudah lebih dulu bersuara, dan kali ini suaranya terdengar tajam.

"Kau bercanda, kan?" Dia memiringkan kepalanya, menatap Diana seakan dia baru saja mengatakan sesuatu yang benar-benar tidak masuk akal.

"Kau benar-benar duduk bersama mereka? Gryffindor?" Nada suaranya penuh rasa jijik, seperti ide itu saja sudah menghina nama Malfoy.

Diana menatapnya sebentar, berusaha tak tersinggung dengan nada Draco.

"Tidak ada pilihan lain. Semua kereta sudah penuh, jadi aku terpaksa duduk dengan mereka," jawabnya, dengan nada santai, tapi tetap jengkel mengingat situasi tadi.

Draco mendengus dan menggelengkan kepala, seolah dia merasa seluruh situasi itu adalah lelucon.

"Kau harus lebih berhati-hati, Dee," katanya, suaranya sedikit lebih dingin. "Terlalu banyak waktu dengan mereka bisa membuatmu tertular kebodohan mereka."

Diana hanya menghela napas dalam hati. Meskipun dia setuju bahwa Gryffindor memang cenderung bertindak sembrono, dia tidak terlalu mempermasalahkan hal itu seperti Draco.

Namun, perasaan bingung tentang kenapa Snape tidak dipilih sebagai profesor masih menghantuinya.

"Ya, aku tahu," jawab Diana singkat, meskipun pikirannya masih tertuju pada Lupin. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Kenapa Dumbledore memilihnya?

***

Malam itu, suasana di asrama Slytherin sedikit tenang, tetapi masih terasa dingin seperti biasanya.

Dinding batu dan lampu hijau samar menambah kesan misterius di ruang tidur perempuan. Diana Malfoy, setelah selesai dengan makan malam di Great Hall, akhirnya masuk ke kamar asramanya.

Dia berbagi kamar dengan Pansy Parkinson dan dua gadis lain, Daphne Greengrass dan Millicent Bulstrode.

Diana duduk di tepi tempat tidurnya yang berlapis hijau dan perak, melepaskan jubahnya dan bersiap-siap untuk malam itu.

Pansy, yang sudah lebih dulu berada di kamar, sedang duduk di kasurnya, sibuk menyisir rambut sambil melihat Diana dari sudut matanya.

"Kau benar-benar duduk dengan Gryffindor di kereta tadi?" tanya Pansy, membuka percakapan, nada suaranya penuh keheranan dan sedikit meremehkan.

Daphne, yang sedang duduk di kursi dekat jendela, menoleh, tertarik. "Apa kau serius, Diana?" tambahnya, penasaran.

Millicent yang sedang merapikan bukunya di meja hanya mengangkat alisnya, tapi tidak ikut menyela.

Diana menghela napas, merasa lelah dengan topik ini lagi. "Aku sudah bilang, Pansy. Semua kereta penuh. Aku tidak punya pilihan lain."

Pansy meringis. "Aku tidak bisa membayangkan duduk dengan mereka. Kau tahu bagaimana mereka, kan? Sangat menjengkelkan."

Dia melemparkan pandangan sinis ke arah Diana. "Bagaimana kau bisa bertahan?"

Diana memutar matanya. "Itu hanya beberapa jam, Pansy. Aku bukan orang yang lemah seperti itu. Lagipula, aku tidak bicara banyak dengan mereka."

Daphne mencondongkan tubuh ke depan, matanya berbinar karena rasa ingin tahu. "Siapa yang ada di sana? Jangan bilang kau duduk dengan Harry Potter?"

Diana tersenyum kecil, setengah mengejek. "Ya, sayangnya aku seberuntung itu. Tapi ada Granger dan si Weasley itu juga."

Pansy mendecakkan lidah. "Ugh, Granger? Mudblood. Kau pasti ingin keluar dari sana secepatnya."

Millicent, yang dari tadi diam, akhirnya ikut bicara. "Aku masih tidak mengerti kenapa Lupin yang dipilih jadi profesor. Aku dengar dia tidak punya pekerjaan yang stabil sejak lulus. Kenapa Dumbledore mempercayakan posisi itu padanya?"

Diana mengangguk setuju, menatap Millicent. "Itu yang aku pikirkan. Snape lebih layak. Kita semua tahu betapa hebatnya dia dalam 'Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam'."

"Snape memang seharusnya mendapatkan pekerjaan itu," Pansy setuju, menaruh sikat rambutnya dan menatap serius.

"Tapi aku dengar ada sesuatu tentang Lupin. Kabar burung mengatakan dia aneh, bahkan untuk standar Hogwarts."

Daphne menatap Pansy dengan penasaran. "Aneh bagaimana?"

Pansy menunduk, berbisik seolah rahasia besar sedang dibagikan. "Ada rumor bahwa Lupin sering sakit. Mungkin penyakit itu menular, atau sesuatu yang lebih buruk. Entahlah"

Diana merasakan bulu kuduknya meremang. Sakit? pikirnya, sedikit khawatir.

Lupin memang terlihat lelah dan kurus, tapi apakah benar ada yang lebih dari itu?

"Tapi kalau memang ada sesuatu yang berbahaya, Dumbledore tidak mungkin membiarkannya mengajar di sini, kan?" tanya Millicent, mencoba masuk akal.

"Aku tidak tahu," jawab Pansy sambil mengangkat bahu. "Tapi kau tahu Dumbledore. Dia selalu membuat keputusan aneh."

Diana menghela napas dan berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar.

Hari ini terasa panjang, dan pikiran tentang Lupin dan ketidakadilan yang dialami Snape membuatnya semakin tidak nyaman.

Namun, ada bagian dari dirinya yang ingin tahu lebih jauh tentang pria misterius itu.

Sebelum Pansy bisa melanjutkan gosipnya, Diana menutup matanya, mengabaikan percakapan lebih lanjut.

Besok adalah hari yang panjang, dan meskipun ia setuju dengan Pansy tentang Lupin, ada sesuatu yang terasa lebih besar dari sekadar penampilan seorang profesor baru.

***

Sacrifier | 𝐆𝐨𝐥𝐝𝐞𝐧 𝐭𝐫𝐢𝐨 𝐞𝐫𝐚 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang