Misteri-2

13 2 0
                                    

◆◇◆

Di tengah misi kami yang masih berlangsung, tiba-tiba dentingan lonceng berbunyi menggema di segala arah, membuat kami berdelapan yang terpencar di berbagai tempat pun terkejut. Lonceng itu berdenting selama sepuluh detik, menyebar ketegangan di tengah suasana yang terbilang cukup tenang. Kami saling menoleh, bingung mencari sumber suara yang tiba-tiba itu.

"Kamu mendengarnya Amay?" tanya Haya, wajahnya tampak pucat.

"Tetap disisiku Haya." ujar Amay

Haya mengangguk dan mengeratkan genggaman tangannya pada tangan pemuda itu.

Jantung kami berdelapan berdegup kencang. Suara itu seolah memanggil, menarik kami untuk mencari tahu.

"Apalagi ini hah?!?, lonceng entah darimana berbunyi" dengus Bang J kesal

"Permainan kalian yang sesungguhnya baru saja dimulai." tutur Giovano/(Vero)

"Cobaan apalagi ini, haishh, yang penting bisa cepat selesai, gue muak disini." ujar Bang J sembari mengusap wajahnya kasar

Tiba-tiba disisi lain, Zel dan Khai yang sedang duduk dibawah pohon setelah menyelesaikan misi seketika dalam sekejap, mereka berpindah tempat dan berdiri di sekitar rumah tua di ujung kebun, tempat di mana Fariel tersesat beberapa jam yang lalu.

Saat mereka mencoba mendekati rumah tua itu, suasana berubah. Angin berhembus kencang, membuat ranting-ranting pohon berdesir. Dari jendela berlubang rumah tua, seekor burung hantu muncul, menoleh ke arah mereka dengan tatapan tajamnya. Matanya bersinar dalam gelap, seolah mengetahui sesuatu yang kami tidak ketahui.

 Matanya bersinar dalam gelap, seolah mengetahui sesuatu yang kami tidak ketahui

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jangan dekat-dekat!" bisik Zel, wajahnya serius. Mereka berdua pun mundur sedikit, tetapi rasa ingin tahu membuat mereka bertahan di tempat. Tiba-tiba, suara berderak dari dalam rumah terdengar, mengusik keheningan suasana siang yang mendadak menjadi gelap.

Zel menarik panah dari punggungnya, dan Khai mengeluarkan shuriken dari saku celananya. Mereka bersiap, memegang senjata erat-erat, tetapi kegugupan mulai menyelimuti mereka. Suara-suara aneh semakin mendekat, dan bayangan bergerak di balik jendela.

"Mungkin kita harus pergi," saran Khai, tetapi suara dentingan lonceng kembali menggema, lebih keras dari sebelumnya. Kali ini, suaranya lebih menakutkan, seolah marah. Di saat yang sama, burung hantu itu terbang dan melintas di depan mereka, membuat kami melompat mundur.

"Di belakangmu!" teriak Zel. Mereka berbalik dengan cepat, dan melihat sosok gelap berdiri di tepi jalan setapak, terlihat samar di bawah sinar matahari. Mereka tak bisa mengenali wajahnya, tetapi aura menakutkannya membuat mereka tidak berani bergerak.

"Khai, kita harus pergi sekarang!" seru Zel, suaranya bergetar. Dengan cepat, mereka berlari mundur, menjauh dari rumah tua dan sosok misterius itu. Namun, dentingan lonceng terus mengikuti mereka, seolah membuntuti langkah mereka.

Mereka berlari sejauh mungkin hingga akhirnya sampai ke jalan setapak yang lebih terang. Ketika suara dentingan itu perlahan menghilang, mereka berhenti dan saling memandang, napas mereka terengah-engah.

"Apa itu semua?" tanya Khai, berusaha menenangkan diri.

Zel menggigit bibirnya. "Entahlah, tapi aku tidak ingin kembali ke sana lagi."

"Lebih baik kita mencari tempat persembunyian dulu."saran Khai dan langsung diangguki oleh Zel

Mereka pun mencari tempat persembunyian dan akhirnya mendapati ruang bawah tanah setelah 1 km menjauh dari rumah tua angker itu. Tepat dibawah mereka berpijak ada sebuah pintu ruangan bawah tanah. Mereka langsung turun menuruni yang ada di dalam sana dan bersembunyilah mereka.

"Gelap banget!!, mana gak ada senter disini." keluh Khai

"Apa ini??, ehh bentar, aku menemukan sesuatu." Zel pun meraih benda yang ada disebelah kirinya

Dan ia mencoba menyalakannya. "Nice, senter!" seru Khai

Di dalam ruang bawah tanah yang gelap dan lembap itu, seketika Zel dan Khai terdiam, menahan napas setelah mendengar suara gaduh di atas. Getaran tiba-tiba mengguncang dinding, membuat debu beterbangan. Dalam kegelapan, mereka merasa seolah ada sesuatu yang mengintai. Tak lama, seekor ular berbisa meluncur dengan cepat di samping mereka, matanya bersinar tajam. Tanpa ragu, mereka melompat dan berlari ke arah pintu.

Namun, saat melangkah keluar, akar-akar pohon raksasa tiba-tiba merambat dari tanah, melilit leher Zel dan mencekiknya. "Zel!" teriak Khai, panik. Dia segera meraih akar-akar itu, mencoba menariknya dengan sekuat tenaga. Suasana di sekitar mereka semakin mencekam, tanah di bawah kaki mereka seolah bergoyang, menambah ketakutan yang membara.

"Cepat, Khai! Tolong aku!" suara Zel teredam, napasnya tersengal-sengal. Khai berusaha fokus, tangannya mencari celah di antara akar yang melilit. Dengan setiap detakan jantungnya, dia merasa waktu semakin habis.

"Ini... hampir...!" Khai menggigit bibirnya, berusaha mendorong akar itu. Akhirnya, setelah perjuangan yang melelahkan, akar itu terlepas, dan Zel terjatuh ke tanah, terengah-engah.

"Kita harus pergi dari sini!" Khai menarik Zel, dan mereka berlari ke luar, terengah-engah dan ketakutan. Di luar, suasana seakan tidak lebih baik; langit gelap menandakan sesuatu yang lebih buruk akan datang.

Tanah terus bergoyang, dan mereka merasakan ada sesuatu yang lebih menakutkan dari sekadar ular. Keberanian mereka diuji, tetapi satu hal yang pasti: mereka tidak akan berhenti hingga menjauh dari kegelapan yang mengancam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Trapped in Terror: The Eight and Their FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang