56. Hujan Kelabu

386 46 13
                                    

“Apapun itu jangan berlebihan. Siapa tahu itu cara Tuhan menghadirkan kesedihan pada sebuah kegembiraan.”

---Bumi Kala---

__________✨__________

"Khanza, di tunggu Langit di depan!"

Gadis itu langsung melompat girang, tanpa berlama-lama Khanza segera ke depan. Ya untuk menemui manusia tersayangnya. Benar saja, Langit sudah duduk di bangku yang ada di depan kelas Khanza.

"Langit," sapa Khanza ceria, "Kok gak chat dulu?"

Langit mendongak. Tersenyum melihat gadisnya begitu ceria, "Udah aku chat, kamu aja yang asik ngobrol."

Langit berdiri. Meraih jemari Khanza untuknya genggam. Hubungan mereka sudah bukan lagi rahasia. Seluruh warga sekolah tahu bahwa Khanza Laura adalah pacar Langit Biru. Dan tidak ada lagi yang perlu di sembunyikan, Langit bebas menggenggam atau bahkan memeluk Khanza. Awalnya Langit cukup canggung untuk melakukan skinship karena ini hubungan pertama Langit. Dia tidak punya cukup pengalaman. Untungnya Khanza bukan gadis yang rewel dan banyak menuntut. Sejauh ini hubungan mereka sehat dan belum ada pertengkaran. Paling-paling Khanza hanya ngambek karena Langit lupa janji atau lupa mengabari.

"Mata kamu merah. Kurang tidur ya?" Tanya Khanza yang sejak tadi memperhatikan mata Langit

"Biasa lah, tugas laprak." Langit mengantar Khanza untuk duduk, kemudian dia pergi memesan makanan untuk keduanya

"Anak itu, selalu begitu." Gumam Khanza memperhatikan Langit yang sedang memesan

Sejauh ini hal yang paling membuat Khanza kesal adalah Langit dan buku-bukunya. Sungguh, alih-alih merasa cemburu dengan para gadis yang mengejar Langit Khanza jelas lebih kesal melihat Langit yang selalu bercengkrama dengan buku. Mereka seperti satu kesatuan yang mustahil di pisahkan. Khanza merasa menjadi manusia tolol yang cemburu dengan buku. Khanza tahu Langit bukan lah cowok yang bisa akrab dengan lawan jenis jadi Khanza tidak khawatir jika Langit akan selingkuh tapi tidak dengan buku. Separuh hidup Langit adalah buku.

Langit akan lupa segalanya jika sudah bersama buku. Lupa makan, lupa minum, bahkan untuk ke kamar mandi rasanya malas sekali. Dengan diri sendiri saja lupa, apalagi dengan Khanza. Mungkin jika Khanza tidak nekat menelpon atau menunjukan bahwa dirinya masih hidup Langit tidak akan memberikan kabar.

"Jangan ngelamun, di sini banyak dedemit." Ujar Langit setelah meletakkan satu nampan berisi dua nasi ayam lengkap dengan lalapan dan dua es teh manis

"Deadline laprak kapan?" Tanya Khanza

"Kamis." Jawab Langit

"Masih Minggu depan, kenapa harus begadang buat ngerjain? Kan bisa di cicil."

Langit menggeleng pelan, "Kalau bisa di kerjain cepat kenapa enggak? Nanti kan akan banyak tugas-tugas lain. Daripada menumpuk."

"Tapi kasihan tubuh kamu juga, Langit Biru. Jangan di biasakan kaya gitu. Istirahat yang cukup!" Tegas Khanza

Langit tersenyum simpul, "Aku udah berteman baik sama angin malam kok. Bukan masalah besar. Toh setelah ini mungkin kita akan banyak begadang."

"Ck, kamu mah keras kepala banget di bilangin."

Khanza geram sekali dengan Langit yang keras kepala. Rasa-rasanya ingin ia botakin saja rambut hitam Langit. Entahlah apa korelasinya Khanza hanya kesal.

"Iya, minta maaf," Langit mengacak pelan rambut Khanza, "Di makan keburu masuk!"

"Kalau kamu sama Bumi berhenti ngajar anak-anak, mereka gimana?" Tanya Langit

[1] DEAR, ABANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang