59. Harus Ada Yang Berkorban

193 36 8
                                    

"Kita hanya bisa mengendalikan apa yang ada di tangan kita.”

---Langit Biru---

__________✨__________

Lentera masih betah duduk di pinggir kolam renang. Terhitung sudah 20 menit sejak Langit pergi. Kertas itu masih setia Lentera genggam. Air matanya masih terus menetes. Khawatir, takut, cemas, dan gugup. Lentera tidak tahu harus bagaimana. Ia mau melihat Bumi di rumah sakit, tapi Lentera tidak mau tambah merepotkan mereka. Lentera sudah cukup menyusahkan.

Lentera sedikit curiga dengan apa yang Langit katakan tadi. Terdengar pilu dan membuat Lentera takut. Entah kenapa, tapi yang saat ini Lentera pikirkan adalah sebuah hal yang buruk.

"Tuhan, saya tahu rencana-MU tidak mungkin membuat umat-MU bersusah hati. Tapi, kenapa harus seperti ini? Jaga Bumi. Jangan biarkan Bumi pergi!" Lentera menyatukan dua telapak tangannya untuk memanjatkan doa. Semua orang bilang 'jangan biarkan Bumi pergi' Lentera jadi takut

Kertas itu Lentera buka pelan-pelan. Lentera tidak mengada-ada, tapi tangannya gemetar. Hatinya bergemuruh hebat. Dengan kekuatan yang tersisa, Lentera mencoba memantapkan hatinya. Semoga kertas itu bukan sesuatu yang membuatnya takut.

Bumi harus mendapat donor hati. Karena hatinya rusak parah. Sesegera mungkin. Dan gue akan memberikan hati gue buat Bumi. Baru lo yang tahu. Dan kalau bisa jangan bilang siapapun, biarkan mereka tahu dengan sendirinya. Gue sayang Bumi. Melebihi rasa sayang gue ke diri gue sendiri. Untuk itu, jangan biarin Bumi sendirian lagi.

Lentera, sebagai manusia kita hanya bisa mengendalikan apa yang ada di genggaman kita. Tidak bisa mengendalikan apa yang ada di genggaman orang lain. Untuk itu, ini pilihan gue. Biarin gue melakukan apa yang gue mau. Semerta-merta bukan untuk pujian, bukan untuk sanjungan. Gue cuma mau Bumi bahagia. Setidaknya dia butuh waktu lebih lama untuk menemukan itu.

Gue minta tolong sama lo. Jaga Bumi buat gue ya. Jangan biarin dia sendirian lagi. Makasih Lentera. Titip salam buat semuanya.

"L-Langit ... " Lentera langsung berlari ke depan. Ia harus segera menghentikan Langit atau terlambat. Lentera tahu Bumi butuh donor hati segera tapi tidak harus Langit

"Neng kenapa?" Satpam yang tadinya santai saja duduk di pos, jadi ikut panik melihat Lentera berlari panik

"Aduh ... Bapak lupa neng Lentera kan gak bisa ngomong."

Lentera menarik nafasnya mencoba tenang. Untuk saat ini mungkin Lentera harus mengambil keputusan besar. Apa yang akan terjadi padanya nanti, biarlah ia pikirkan nanti. Langit lebih penting daripada dirinya. Bagaimana nanti pendapat mereka mengenai dirinya, Lentera tidak peduli.

"P-pak ... Antar s-saya ke rumah sakit. T-tolong ... " Ucap Lentera tergagap

Pak satpam tidak mungkin tidak terkejut. Selama ini ia tahu jika Lentera adalah seorang yang berkebutuhan khusus.

"N-neng kok?"

Lentera gemetar meraih tangan pak satpam, "S-saya mohon pak. A-antar saya ke sana!"

"Ya sudah ayo neng. Kok kelihatannya panik banget. Aduh kunci motor saya di dalam."

Lentera terduduk di pos satpam. Ia menangis. Hatinya sakit. Tercabik-cabik luar biasa. Seluruh badannya gemetar hebat. Di kepalanya hanya ada harapan-harapan semu.

Di saat seperti ini Lentera hanya berharap Tuhan berbaik hati untuk menghentikan waktu. Sampai Lentera bisa menghentikan Langit dan menyadari dia dari kegilaan ini.

[1] DEAR, ABANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang