𝐈𝐈

42 11 0
                                    

-------

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-------

Satu minggu telah berlalu sejak percakapan Aruna dan Haikala di taman. Meski Haikala selalu berusaha ada untuk Aruna, hidup gadis itu tak berubah banyak. Di sekolah, para pengganggunya seakan mendapat energi baru untuk terus menyiksa Aruna. Setiap kali ia berjalan di koridor, bisikan-bisikan menyakitkan selalu mengikuti. Buku-buku yang ditarik dari tangannya, cemoohan yang dilemparkan kepadanya-semua menjadi bagian dari rutinitas hariannya.

Hari itu, Aruna terpuruk lebih dalam. Saat bel pulang berbunyi, dia tak langsung pergi. Di toilet sekolah, dia menatap cermin, wajahnya tampak kosong. Perutnya masih terasa sakit akibat didorong oleh salah satu pengganggunya saat istirahat, dan bekas luka memar yang mulai pudar di lengannya masih terasa perih setiap kali disentuh.

Ketika keluar dari toilet, dia mendapati Haikala sudah menunggunya di gerbang sekolah, seperti biasa. Mereka biasanya pulang bersama, tapi kali ini, Aruna berjalan tanpa banyak bicara. Haikala yang biasanya ceria tampak cemas melihat perubahan sikap sahabatnya.

"Kenapa nggak nunggu aku di kelas?" tanya Haikala pelan, berusaha membuka percakapan.

Aruna hanya mengangkat bahu tanpa menoleh. "Nggak apa-apa, Kal. Aku cuma pengen cepat pulang."

Ada sesuatu dalam suaranya yang membuat Haikala merasa ada yang lebih dalam dari sekadar kelelahan. Mereka berjalan beberapa langkah dalam keheningan sebelum Haikala berhenti mendadak dan menarik tangan Aruna, memaksanya untuk berhenti juga.

"Aru, apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya serius. "Kamu nggak bisa terus diem kayak gini. Setiap hari aku liat kamu makin terpuruk. Ini nggak sehat."

Aruna terdiam, tak mampu menatap mata Haikala. Perasaannya campur aduk-antara ingin melampiaskan segala rasa sakit yang tertahan dan keinginan untuk tetap menyembunyikan semuanya. Namun, ketika ia membuka mulutnya, suaranya akhirnya pecah.

"Mereka nggak berhenti, Kal." Suara Aruna terdengar lirih namun sarat emosi. "Setiap hari, mereka terus menyerang aku. Di kelas, di kantin, di koridor. Aku udah coba nggak peduli, tapi itu terlalu menyakitkan. Aku nggak kuat lagi."

Mata Haikala memanas mendengar pengakuan itu. Dia tahu bullying ini buruk, tapi tidak menyangka sampai sedalam itu. Dia menatap Aruna, mencoba menemukan kata-kata yang tepat, namun tak ada yang bisa sepenuhnya menggambarkan rasa marah dan simpati yang ia rasakan.

"Kenapa kamu nggak pernah cerita?" tanya Haikala dengan lembut, meski ada ketegangan dalam suaranya.

Aruna tertawa kecil, tetapi terdengar getir. "Cerita buat apa, Kal? Mereka nggak bakal berhenti hanya karena aku bilang aku capek. Dan aku... aku malu. Aku nggak bisa ngelawan mereka."

Haikala mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak membiarkan amarahnya meledak. "Aru, kamu nggak harus ngelawan mereka sendiri. Aku bisa bantu kamu. Kalau kamu cerita lebih awal, kita bisa cari jalan keluar bersama."

Aruna menggeleng. "Aku nggak mau kamu terlibat. Kamu tau gimana mereka bisa lebih jahat kalau kamu ikut campur. Mereka... mereka mungkin bakal nyakitin kamu juga."

Haikala menatap Aruna dalam-dalam, menolak menyerah begitu saja. "Denger, Aru. Aku nggak peduli mereka mau nyakitin aku. Yang aku peduliin sekarang cuma kamu. Kamu nggak pantas diperlakukan kayak gini, dan aku nggak bakal biarin kamu ngelewatin ini sendirian."

Tangis yang selama ini Aruna tahan akhirnya pecah. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. "Aku capek, Kal. Aku capek ngerasa nggak ada artinya. Kenapa hidupku selalu kayak gini? Kenapa aku nggak pernah bisa ngerasa bahagia?"

Haikala dengan cepat memeluknya, merengkuh tubuh Aruna yang bergetar dalam pelukannya. "Ssst, Aru, kamu nggak sendiri. Aku di sini, selalu di sini. Dan kita akan cari jalan keluar. Kamu bakal ngelewatin ini semua, aku janji."

Di bawah langit sore yang mulai memudar, Haikala memeluk Aruna erat, seakan pelukan itu bisa menyembuhkan semua luka yang ia rasakan. Di saat itu, meskipun segalanya terasa hancur, Aruna merasa aman di pelukan sahabatnya, seolah-olah ada harapan di ujung kegelapan yang selama ini membayangi hidupnya.

Detak Harapan - HAERINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang