___________
Beberapa hari setelah pertemuan mereka di taman, Haikala mulai merasakan perubahan kecil pada Aruna. Walaupun Aruna masih tampak murung, ada momen-momen di mana dia terlihat mencoba tersenyum. Haikala tahu, ini bukan akhir dari masalah Aruna, tapi setidaknya ada sedikit perbaikan. Mereka terus bertemu di taman, meskipun pembicaraan mereka lebih sering dipenuhi keheningan.Suatu sore, ketika Haikala sedang menunggu Aruna di tempat biasa mereka, seorang gadis yang tidak dikenal mendekatinya. Gadis itu tampak cantik, dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai dan pakaian rapi seperti model di majalah. Haikala menatapnya dengan bingung ketika dia mendekat.
"Hey, kamu Haikala, kan?" sapanya dengan senyum lebar.
Haikala mengerutkan alis, merasa tidak familiar dengan wajah gadis itu. "Iya, bener. Kenapa ya?"
Gadis itu duduk di sebelah Haikala tanpa diundang, dan langsung memulai percakapan. "ih masa gak kenal? Aku teman sekelas kamu, Hana. Aku sering lihat kamu di kelas dan dengar banyak tentang kamu."
Haikala menatapnya dengan bingung, lalu tersenyum sopan. "Oh, iya? Maaf, aku nggak terlalu ingat."
Hana tertawa kecil, memperbaiki posisi duduknya. "Nggak apa-apa. Aku cuma mau ngobrol, dan jujur aja, kamu tuh menarik perhatian banyak cewek di sekolah." Hana mengedipkan mata, seolah mengisyaratkan sesuatu.
Haikala merasa sedikit canggung. "Aku nggak terlalu mikirin hal kayak gitu," jawabnya jujur.
Namun, Hana tampaknya tidak menyerah. "Gimana kalau kita jalan-jalan bareng suatu waktu? Kamu kelihatannya butuh sedikit hiburan, apalagi dari yang aku dengar, kamu sering terlihat serius. Mungkin aku bisa bikin kamu lebih santai?"
Haikala tersenyum, tapi ada sesuatu yang terasa tidak nyaman. Dia tahu ada maksud tertentu di balik kata-kata Hana, dan itu membuatnya waspada. "Terima kasih, tapi kayaknya sekarang bukan waktu yang tepat."
Sebelum Hana bisa membalas, Aruna muncul dari arah yang berlawanan, wajahnya berubah saat melihat Hana duduk di sebelah Haikala. Meskipun ia tidak mendengar percakapan mereka, ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatnya merasa was-was. Dia berhenti sejenak, ragu untuk melangkah lebih dekat.
Namun, Haikala segera menyadari kehadiran Aruna. Dia berdiri dan melambaikan tangan, memanggilnya dengan hangat. "Aru! Kamu di sini. Yuk, kita duduk."
Hana menoleh, melihat Aruna dengan pandangan yang sedikit menilai. "Oh, jadi ini Aruna?" tanyanya, suaranya terdengar ramah, tapi ada sedikit nada dingin yang tersembunyi. "Aku sering dengar tentang kamu juga. Kalian berdua sering bareng kan ya?"
Aruna, merasa tidak nyaman dengan suasana ini, hanya tersenyum kecil. "Iya, kita temen baik," jawabnya pelan.
Hana tersenyum lebih lebar, tapi kali ini senyumnya terasa tidak tulus. "Seru juga ya punya teman kayak Haikala. Tapi jangan lupa, Haikala juga butuh teman-teman lain, biar hidupnya lebih berwarna."
Aruna hanya menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. Haikala yang melihat perubahan sikap Aruna segera mengambil inisiatif. "Sebenarnya, kita punya rencana lain sore ini," katanya pada Hana dengan sopan tapi tegas. "Maaf, lain kali aja ngobrol-ngobrolnya, ya?"
Hana terdiam sebentar, lalu berdiri dengan senyum tipis. "santai aja. Kapan-kapan kita bisa ketemu lagi, Haikala." Dia melirik ke arah Aruna sebelum melangkah pergi, meninggalkan suasana yang sedikit canggung di antara mereka.
Setelah Hana pergi, Aruna duduk di bangku, masih menatap tanah dengan raut wajah yang sulit dibaca. Haikala duduk di sampingnya, merasa ada yang salah.
"Aru, kamu nggak perlu dengerin omongan dia," kata Haikala pelan. "Kita udah janji untuk selalu ada buat satu sama lain. Kamu nggak perlu khawatir soal yang kayak gitu."
Aruna menghela napas, lalu mengangkat bahunya. "Aku nggak apa-apa, Kal. Cuma... mungkin dia benar. Kamu butuh teman-teman lain, bukan cuma aku."
Haikala menatapnya dalam-dalam. "Aru, kamu penting buat aku. Itu nggak akan berubah hanya karena orang lain datang. Jangan pernah pikir kalau kamu ngehalangin hidupku. Kamu adalah bagian dari hidup aku yang paling penting."
Aruna terdiam, masih menatap tanah dengan pikiran yang tampak jauh. Haikala merasakan kegelisahan yang tumbuh di antara mereka, terutama setelah pertemuan dengan Hana tadi. Dia tahu Aruna sedang berjuang dengan perasaan tak berharga yang semakin kuat sejak bullying di sekolah semakin buruk. Ini bukan hanya tentang Hana, tapi juga tentang semua tekanan yang Aruna rasakan akhir-akhir ini.
"Aru," Haikala memanggilnya lembut, mencoba menarik perhatian sahabatnya. "Aku nggak butuh teman-teman lain. Maksudku, iya, aku punya teman, tapi nggak ada yang seperti kamu. Kamu yang selalu ada buat aku, dan aku selalu ada buat kamu. Itu yang terpenting."
Aruna menggigit bibir bawahnya, jelas masih ragu. "Tapi, Kal... aku takut kamu bakal capek sama aku. Semua masalahku, semua drama yang harus kamu hadapi... aku nggak mau jadi beban."
Haikala menggeleng kuat, tak ingin membiarkan pikiran itu berkembang lebih jauh dalam benak Aruna. "Kamu nggak pernah jadi beban, Aru. Nggak sekali pun aku mikir kayak gitu. Justru, kalau kamu nggak ada, aku yang bakal kehilangan arah. Kamu yang bikin aku tetap kuat."
Aruna menatap Haikala, air mata perlahan menggenang di sudut matanya. "Kamu bener-bener nggak bakal ninggalin aku, kan?"
Haikala tersenyum lembut, lalu meraih tangan Aruna, menggenggamnya erat. "Nggak akan. Aku janji. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada buat kamu."
Seketika, Aruna merasa ada sesuatu yang hangat di hatinya. Meski semua ketakutannya belum sepenuhnya hilang, kata-kata Haikala memberikan sedikit ketenangan. Dia tahu perjuangan ini belum selesai, tapi setidaknya ada seseorang yang siap berjalan bersamanya melewati semua itu.
"Kal..." Aruna tersenyum tipis, meskipun matanya masih berair. "Makasih. Aku nggak tau gimana jadinya kalau kamu nggak ada."
"Untungnya, kamu nggak perlu tahu," jawab Haikala dengan tawa kecil. "Karena aku nggak akan kemana-mana."
Mereka duduk bersama dalam keheningan yang nyaman. Matahari sore mulai tenggelam, mewarnai langit dengan nuansa merah dan jingga. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Aruna merasa ada sedikit harapan, meskipun masih kecil.
Namun, di dalam dirinya, Aruna tahu bahwa ini bukan akhir dari perjuangannya. Kegelapan masih ada, menunggu di sudut-sudut pikirannya. Tapi sekarang, dia tidak sendiri. Dan itu cukup untuk hari ini.
Haikala tiba-tiba menoleh, mengubah suasana yang sedikit berat dengan senyuman jahil. "Eh, ngomong-ngomong, tadi cewek yang nyamperin aku nyebelin ya?"
Aruna tertawa kecil, menyeka air mata yang tersisa. "Lumayan. Tapi... mungkin kamu harus kasih dia kesempatan kalau dia emang beneran suka sama kamu."
"Ah, nggak usah," jawab Haikala cepat. "Dia bukan tipe aku."
Aruna memiringkan kepala, penasaran. "Terus, tipe kamu yang kayak gimana?"
Haikala hanya tersenyum misterius dan mengalihkan pandangan ke langit yang mulai gelap. "Bukan dia, yang pasti."
Aruna tertawa lebih keras kali ini, merasa lega karena Haikala berhasil mencairkan suasana. Meski mereka tidak mengatakannya, di antara canda dan tawa itu, ada perasaan hangat dan nyaman yang membuat Aruna merasa sedikit lebih kuat untuk menghadapi hari-hari berikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak Harapan - HAERINA
Novela JuvenilAruna adalah malam tanpa bintang, hidupnya selalu kelam dan sepi. Namun, Haikal hadir seperti mentari di ufuk gelapnya, selalu setia memberi terang.