_________________
Setelah percakapan di kantin itu, suasana di antara Aruna dan Haikala mulai berubah, meskipun keduanya tidak mengatakan hal yang lebih dari sekadar “teman.” Tapi Aruna merasakan kehangatan yang berbeda setiap kali berada di dekat Haikala, dan itu memberinya kekuatan yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Hari-hari berlalu dengan lebih baik. Aruna mulai lebih berani menghadapi tatapan dan ejekan, meskipun masih ada beberapa momen di mana perasaan cemas kembali menghantamnya. Namun, setiap kali itu terjadi, Haikala selalu siap dengan senyum dan kata-kata semangatnya. Mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama, baik di sekolah maupun di luar. Haikala selalu tahu cara membuat Aruna tersenyum, bahkan di hari-hari terberatnya.
Suatu sore, setelah sekolah, Haikala mengajak Aruna ke tempat favorit mereka, taman di bawah pohon besar. Matahari sore yang mulai terbenam memancarkan cahaya keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Mereka duduk berdua di bangku kayu yang sudah mulai usang, memandangi langit yang berangsur gelap.
“Aru,” kata Haikala dengan suara lembut, memecah keheningan. “Aku tahu kamu udah banyak berjuang selama ini. Aku juga tahu kalau semua ini nggak mudah buat kamu. Tapi aku bangga sama kamu. Kamu udah jauh lebih kuat dari yang kamu kira.”
Aruna tersenyum kecil, menundukkan kepalanya. “Aku nggak merasa seperti itu, Kal. Kadang rasanya masih sulit. Aku masih takut, masih cemas… tapi karena kamu, semuanya terasa sedikit lebih mudah.”
Haikala mengangguk. “Dan aku bakal terus ada di sini buat bantu kamu. Kamu nggak sendirian, Aru. Aku bakal selalu ada di samping kamu.”
Ada keheningan singkat sebelum Aruna membuka suara lagi. “Kal... kamu pernah nggak merasa kayak hidup ini nggak adil? Kayak, kenapa harus kita yang ngalamin ini semua?”
Haikala tersenyum pahit, menatap jauh ke depan. “Pernah. Banyak malah. Tapi aku belajar satu hal—kadang kita nggak bisa kontrol apa yang terjadi sama kita, tapi kita bisa kontrol gimana kita nanggepinnya. Dan buat aku, yang penting adalah nggak pernah nyerah. Selama kita masih punya harapan, kita masih bisa terus berjuang.”
Aruna menatap Haikala dengan mata yang berbinar. “Kamu selalu tau apa yang harus diomongin.”
Haikala tertawa pelan. “Nggak juga. Aku cuma ngomong apa yang aku rasain. Kadang kita cuma butuh percaya sama diri sendiri, dan sama orang-orang di sekitar kita.”
Aruna menghela napas panjang, merasa beban di hatinya sedikit berkurang. Dia merasa tenang di samping Haikala, seolah semua ketakutan dan kecemasannya perlahan memudar saat mereka bersama. Tiba-tiba, Aruna merasa ingin mengatakan sesuatu yang selama ini ia pendam, sesuatu yang selalu bersembunyi di sudut hatinya.
“Kal...” Aruna mulai bicara, suaranya pelan namun terdengar serius. “Aku... aku nggak tahu gimana cara ngungkapinnya, tapi... aku bener-bener bersyukur kamu ada di hidupku. Kamu satu-satunya yang bikin aku merasa nggak sendirian. Kamu selalu ada buat aku, bahkan waktu aku sendiri ragu sama diriku sendiri.”
Haikala menatap Aruna dengan mata yang lembut, senyumnya perlahan muncul. “Aku juga, Aru. Aku bersyukur bisa ada di samping kamu. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira, dan aku bangga bisa jadi bagian dari perjalanan kamu selama ini.”
Aruna merasakan hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. Dia ingin mengatakan lebih, ingin mengungkapkan perasaan yang lebih dalam, tapi kata-kata seolah tertahan di tenggorokannya. Namun, dia tahu, dalam keheningan itu, Haikala mengerti. Mereka saling memandang untuk beberapa saat, dan dalam pandangan itu, ada perasaan yang tak terucapkan—rasa syukur, cinta, dan kebersamaan yang begitu erat.
Hari itu, di bawah langit senja, Aruna menyadari satu hal penting. Meskipun masih ada banyak hal yang harus dihadapi, dia tidak lagi merasa takut akan masa depan. Selama Haikala ada di sisinya, dia merasa bisa menghadapi apa pun.
_________
Malam itu, saat Aruna berbaring di kamarnya, pikirannya terus kembali ke percakapannya dengan Haikala. Ada perasaan hangat yang terus mengisi hatinya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Haikala adalah orang pertama yang membuatnya merasa benar-benar aman, seolah seluruh dunia berhenti menyerangnya saat mereka bersama. Tapi di balik kehangatan itu, ada perasaan yang mulai mengganggunya—apakah perasaannya kepada Haikala masih sebatas teman?
Aruna menatap langit-langit kamar, memikirkan setiap momen yang mereka habiskan bersama. Meskipun Haikala selalu ada untuknya, dia takut akan satu hal—bagaimana jika suatu hari nanti Haikala tidak lagi bisa menemaninya? Bagaimana jika perasaan yang semakin kuat ini justru merusak persahabatan mereka? Pikirannya dipenuhi kekhawatiran sampai akhirnya dia tertidur, dengan hati yang belum sepenuhnya tenang.
TBC..
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak Harapan - HAERINA
Fiksi RemajaAruna adalah malam tanpa bintang, hidupnya selalu kelam dan sepi. Namun, Haikal hadir seperti mentari di ufuk gelapnya, selalu setia memberi terang.