___________
Beberapa hari setelah insiden catatan di kelas, suasana di sekolah terasa sedikit lebih tenang. Meski bully itu masih ada, mereka mulai mengurangi gangguan setelah melihat bagaimana Haikala melindungi Aruna. Namun, Aruna tahu, semua ini hanya permukaan. Di balik semua itu, ada kegelapan yang tetap mengintai, siap menyerang kapan saja.
Suatu sore, sepulang sekolah, Haikala mengajak Aruna untuk berjalan-jalan di sekitar pusat kota. "Aku tahu kamu suka tempat yang tenang, tapi kali ini aku mau bawa kamu ke suatu tempat," katanya, penuh semangat.
Aruna mengangkat alis, sedikit penasaran. "Ke mana, Kal? Biasanya kita ke taman atau tempat yang sepi."
Haikala tersenyum misterius. "Kali ini beda. Trust me, kamu bakal suka."
Mereka berdua berjalan menyusuri jalanan kota yang ramai, melewati toko-toko kecil dan kafe yang dipenuhi anak muda. Aruna merasa sedikit canggung berada di keramaian, tapi Haikala di sisinya membuat segalanya terasa lebih mudah.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di sebuah toko musik kecil yang tersembunyi di antara gedung-gedung besar. Pintu toko berderit ketika Haikala membukanya, mengundang aroma kayu tua dan catatan melodi lembut yang mengalun dari dalam.
"Ini dia tempatnya," kata Haikala sambil tersenyum lebar.
Aruna terdiam, menatap sekeliling. Di dalam toko itu, ada deretan piringan hitam, kaset, dan berbagai alat musik yang tersusun rapi. Dinding-dindingnya dipenuhi poster musisi legendaris, sementara di sudut ruangan, ada piano tua yang tampaknya sudah lama tak disentuh.
"Aku tahu kamu nggak terlalu suka keramaian," lanjut Haikala, "tapi tempat ini beda. Di sini, tenang. Kamu bisa dengerin musik atau main alat musik kalau mau. Aku sering ke sini kalau lagi butuh waktu sendiri."
Aruna tersenyum kecil, merasa tersentuh dengan usaha Haikala. "Tempat ini... nyaman. Thanks, Kal."
Haikala mengangguk, senang melihat Aruna mulai sedikit rileks. "Ayo, coba kita lihat-lihat." Dia menggandeng Aruna menuju rak-rak piringan hitam, menunjuk beberapa album klasik yang pernah mereka bicarakan. Mereka menghabiskan waktu di sana, berbicara tentang musik, masa kecil, dan mimpi-mimpi yang dulu mereka punya.
Setelah beberapa lama, Haikala mendekat ke piano di sudut ruangan dan menekan beberapa tuts dengan lembut. "Aku nggak jago main piano, tapi... aku inget kamu dulu suka dengerin aku main gitar. Mau coba mainin lagu kita di sini?"
Aruna tertegun. Lagu mereka. Sebuah melodi yang dulu sering Haikala mainkan dengan gitar, di masa-masa mereka lebih sering tertawa daripada menangis. Dia menatap piano itu, ragu-ragu.
"Aku udah lama nggak main musik," kata Aruna, suaranya hampir berbisik.
Haikala tersenyum. "Nggak apa-apa. Kamu bisa mulai dari sini. Aku bakal nemenin."
Dengan sedikit dorongan dari Haikala, Aruna duduk di depan piano, jari-jarinya yang sempat gemetar perlahan menyentuh tuts. Awalnya, nada yang keluar terdengar canggung dan tak beraturan, tapi seiring waktu, Aruna mulai menemukan ritmenya. Melodi lembut dari lagu mereka mulai mengalun, memenuhi ruangan kecil itu dengan kenangan.
Haikala duduk di sebelah Aruna, ikut bernyanyi pelan, suaranya menyatu dengan denting piano. Aruna tersenyum samar, meskipun air mata mulai menggenang di matanya. Ada rasa hangat yang mulai tumbuh di dadanya, rasa yang hampir terlupakan-rasa nyaman, rasa aman.
Saat lagu berakhir, Aruna menarik napas panjang, seolah-olah melodi itu telah membebaskan sedikit beban dari hatinya. Dia menoleh ke Haikala, yang tersenyum padanya dengan tatapan lembut.
"Lihat? Kamu masih bisa," kata Haikala pelan. "Dan kamu nggak sendirian."
Aruna mengangguk, matanya berbinar. "Makasih, Kal... Aku bener-bener butuh ini."
Haikala meraih tangan Aruna, menggenggamnya erat. "Kamu selalu bisa ngandalin aku, Aru. Dan nggak ada satu orang pun yang bisa bilang sebaliknya."
Aruna merasa ada kekuatan baru dalam dirinya. Meski perjalanan ini belum selesai, dia tahu bahwa bersama Haikala, dia bisa menemukan sedikit demi sedikit bagian dirinya yang hilang. Dan itu cukup untuk membuatnya terus bertahan, satu hari lagi, satu langkah lagi.
_______
Dua jam berlalu, dan mereka sudah memainkan beberapa musik bersama. ketika jari-jari Aruna menyentuh tuts terakhir dan keheningan menggantikan nada-nada yang mengalun, ia menatap jemarinya sendiri dengan perasaan campur aduk. Ada kelegaan, tapi juga ketakutan yang masih tersisa. Dia menoleh ke arah Haikala, yang duduk di sampingnya, menatap dengan senyum hangat yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang.
"Kal... kenapa kamu selalu baik banget sama aku?" tanya Aruna pelan, pertanyaan yang sudah lama ia pendam.
Haikala mengangkat bahu, masih dengan senyuman lembut di wajahnya. "Karena kamu penting buat aku, Aru. Teman baik itu saling jagain, kan?"
Aruna menghela napas panjang. "Tapi, kayaknya aku selalu ngebawa masalah buat kamu. Aku nggak pengen jadi seseorang yang bikin hidup kamu lebih susah."
Haikala tertawa kecil, lalu menatap mata Aruna dalam-dalam, membuat Aruna sedikit terkejut. "Kamu tahu nggak? Aku nggak pernah ngelihat kamu kayak gitu. Kamu justru bikin hidup aku lebih berarti. Setiap kali aku ngelihat kamu berusaha bangkit, aku juga ikut semangat. Kita butuh satu sama lain, Aru. Kamu nggak boleh ngerasa sendirian."
Mata Aruna kembali berair, tapi kali ini, air mata itu bukan berasal dari rasa sedih atau keputusasaan. Ada rasa haru yang mengisi dadanya. Dia tahu, dalam setiap kata yang diucapkan Haikala, selalu ada ketulusan yang tak bisa ia ragukan.
"Kal... aku benar-benar nggak tahu gimana jadinya kalau kamu nggak ada."
Haikala tersenyum lembut, kemudian berdiri dari bangku piano dan menepuk bahunya pelan. "Untungnya, aku selalu ada. Jadi, nggak usah mikirin itu."
Aruna tertawa kecil di sela air matanya, perasaan sedikit lebih ringan meski tahu beban hidupnya tidak akan langsung hilang begitu saja. Namun, di tempat ini, di samping Haikala, setidaknya untuk sementara, dia merasa aman. Dan itu cukup.
Setelah beberapa saat hening, Haikala tiba-tiba mengganti suasana. "Eh, ngomong-ngomong, gimana kalau kita mampir ke kedai es krim di sebelah? Aku tahu kamu nggak bisa nolak yang dingin-dingin, kan?"
Aruna tersenyum lebih lebar kali ini, mengangguk tanpa berpikir panjang. "Ya, ide bagus. Tapi kamu yang traktir, ya?"
"Deal," jawab Haikala cepat sambil mengulurkan tangan seperti akan membuat perjanjian resmi. Aruna menyambutnya dengan tawa kecil, dan mereka berdua keluar dari toko musik itu, berjalan bersama menuju kedai es krim, meninggalkan sejenak semua beban yang selama ini menghantui pikiran Aruna.
Di sepanjang jalan, Haikala terus bercerita hal-hal konyol yang membuat Aruna semakin lupa akan masalahnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Aruna merasa ada harapan, meskipun kecil. Bersama Haikala, langkahnya terasa lebih ringan, seolah dia menemukan lagi alasan untuk terus berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak Harapan - HAERINA
Ficção AdolescenteAruna adalah malam tanpa bintang, hidupnya selalu kelam dan sepi. Namun, Haikal hadir seperti mentari di ufuk gelapnya, selalu setia memberi terang.