𝐗𝐈𝐕

31 8 0
                                    

Setahun kemudian, kehidupan Aruna dan Haikala berubah cukup drastis setelah mereka lulus dari sekolah. Mereka kini berada di dunia baru—masa perkuliahan. Keduanya memilih kampus yang berbeda, meskipun masih di kota yang sama, dan meski jarang bertemu seperti dulu, hubungan mereka tetap kuat.

Aruna duduk di kamar apartemennya yang kecil tapi nyaman, menatap ponselnya dengan senyum kecil. Pesan dari Haikala muncul di layar:

"Lagi sibuk, Aru? Aku lagi di dekat kampus kamu, mau ketemuan?"

Aruna tersenyum dan segera mengetik balasan:

"Lagi nggak sibuk kok. Datang aja, aku lagi di kamar."

Setelah itu, Aruna bangkit dan merapikan sedikit ruangannya. Sudah satu bulan sejak mereka terakhir bertemu, karena kesibukan kuliah dan aktivitas lainnya. Meski jarang bertemu, mereka sering berbagi cerita lewat telepon atau pesan singkat. Namun, pertemuan tatap muka selalu berbeda—lebih hangat dan membuat Aruna merasa nyaman.

Tak lama, terdengar ketukan di pintu. Aruna membuka dan di sana berdiri Haikala dengan senyuman lebar, membawa sekantong makanan. "Aku bawain makanan kesukaan kamu," katanya dengan nada riang.

Aruna tertawa kecil. "Kamu selalu tahu gimana bikin aku seneng."

Mereka duduk bersama di meja kecil yang ada di sudut ruangan, mulai membuka makanan dan menikmati kebersamaan. Sementara mereka makan, Haikala bercerita tentang tugas kuliah yang baru saja selesai ia kerjakan, membuat Aruna tertawa mendengar betapa berantakannya proses penyelesaian tugas tersebut.

"Aku beneran hampir nggak tidur dua hari, Aru. Tapi akhirnya selesai juga," ujar Haikala dengan ekspresi lega.

Aruna menggeleng, setengah tertawa. "Kamu selalu kayak gitu. Tapi yang penting, kamu bisa ngelewatin semuanya."

Setelah beberapa saat berbicara, Haikala tiba-tiba menghentikan gerakannya dan menatap Aruna dengan serius. "Aru, aku ada sesuatu yang pengen aku omongin."

Aruna mengernyit, penasaran. "Apa itu, Kal?"

Haikala meletakkan sumpitnya dan menatap Aruna dalam-dalam. "Kita udah setahun lebih pacaran, dan aku sadar betapa pentingnya kamu buat aku. Setiap kali aku merasa capek, stress, atau kehilangan arah, aku selalu mikirin kamu. Kamu yang bikin aku tetap kuat."

Aruna terdiam, merasa detak jantungnya semakin cepat. Ia bisa merasakan bahwa apa yang akan dikatakan Haikala adalah sesuatu yang besar.

"Aku nggak pernah sejelas ini ngerasain sesuatu," lanjut Haikala, "Tapi aku tahu satu hal, Aru. Aku nggak cuma mau jadi bagian dari hidup kamu sekarang. Aku mau ada di hidup kamu selamanya."

Aruna terkejut, air matanya perlahan mengalir tanpa dia sadari. "Kal... apa maksudnya?"

Haikala menggenggam tangan Aruna erat-erat, menatapnya penuh cinta. "Aku mau kita nggak cuma pacaran lagi. Aku nggak tahu kapan, tapi suatu hari nanti, aku pengen kita nikah. Aku serius sama kamu, Aru."

Mendengar itu, Aruna tersenyum lebar di antara air matanya, hatinya terasa hangat dan tenang. "Aku juga serius sama kamu, Kal. Aku ngga bisa bayangin hidup aku tanpa kamu."

Haikala terkekeh, masih menggenggam tangan Aruna erat, merasakan kehangatan yang selalu membuatnya merasa tenang. Aruna, yang masih terisak kecil, tersenyum di tengah air matanya. Percakapan mereka baru saja menyentuh sesuatu yang sangat dalam, sesuatu yang belum pernah mereka bicarakan sebelumnya.

"Aku nggak nyangka kamu bakal ngomong kayak gitu," kata Aruna, suaranya masih bergetar sedikit. "Aku pikir kita masih terlalu muda buat mikirin hal-hal seperti ini."

Haikala mengangguk pelan. "Aku tahu kita masih muda, dan mungkin kita belum tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi yang aku tahu sekarang adalah aku nggak mau bayangin masa depan tanpa kamu. Kamu selalu jadi alasan aku buat terus maju, Aru."

Aruna menunduk sebentar, mencoba meresapi kata-kata Haikala. Hatinya terasa penuh, tapi juga takut. Takut bahwa perasaan ini akan teruji di masa depan, takut bahwa sesuatu yang begitu indah bisa saja berubah. Namun, di sisi lain, dia juga tahu bahwa Haikala adalah orang yang selalu bisa dia andalkan—yang selalu ada, bahkan di saat-saat tersulit.

"Aku juga ngerasa sama, Kal," ujar Aruna akhirnya, suaranya lebih tenang. "Kamu selalu ada buat aku, dan aku nggak bisa bayangin hidupku tanpa kamu juga. Tapi... kamu yakin kita bisa melewati semua ini? Kuliah, kerja, hidup kita nanti?"

Haikala tersenyum, menatapnya dengan pandangan yang penuh keyakinan. "Nggak ada yang pasti, Aru. Tapi aku yakin sama satu hal: kita bisa jalanin semuanya selama kita bareng. Kita udah ngelewatin banyak hal, kan? Mulai dari masalah sekolah, keluarga, bahkan perasaan yang dulu nggak kita ungkap. Dan kita masih di sini, bareng-bareng."

Aruna tersenyum, meski ada sedikit kekhawatiran di hatinya. "Iya, kamu benar. Kita udah ngelewatin banyak, dan aku tahu kita kuat. Cuma... kadang aku takut. Takut semuanya berubah."

Haikala mendekat, menyentuh pipi Aruna dengan lembut, menyeka sisa-sisa air mata di wajahnya. "Perubahan itu pasti, Aru. Tapi yang nggak akan berubah adalah perasaan aku buat kamu. Aku nggak bisa janji kalau semuanya akan selalu mudah, tapi aku bisa janji kalau aku akan selalu ada di samping kamu, apapun yang terjadi."

Mendengar itu, hati Aruna terasa lebih tenang. Dia menatap Haikala dengan tatapan penuh rasa sayang, lalu menggenggam tangannya lebih erat. "Aku percaya sama kamu, Kal. Dan aku juga janji, aku akan selalu ada buat kamu."

Haikala tersenyum, lalu dengan lembut mencium kening Aruna. "Kita akan baik-baik aja, Aru. Kita punya waktu, dan kita bisa ngerencanain semuanya pelan-pelan. Yang penting, kita bareng."

Aruna mengangguk, merasa lebih tenang. Malam itu, di dalam kamar yang sederhana, mereka berdua berbicara panjang lebar tentang masa depan. Tentang mimpi-mimpi mereka, tentang tantangan yang mungkin akan datang, dan tentang bagaimana mereka akan saling mendukung di setiap langkah yang mereka ambil. Di balik semua ketidakpastian, satu hal yang mereka tahu pasti—cinta mereka adalah sesuatu yang nyata dan akan selalu menjadi fondasi kuat dalam hidup mereka.

END.

Halo.. sebelumnya terimakasih banyak buat yang sudah baca dan vote cerita aneh ini hehe. Aku bener bener agak tidak menyangka ada aja orang yang baca cerita ini walaupun mungkin ada yang karena penasaran doang tapi aku seneng rasanya, makasih banyak! Maaf bila masih berantakan kata kata nya, aku masih baru dalam hal menulis kayak gini—

Once again, thank u all!

Detak Harapan - HAERINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang