_________________
Mereka tiba di kedai es krim kecil yang berada di sudut jalan, tempat yang sering kali luput dari perhatian orang-orang yang lalu lalang. Haikala dan Aruna langsung menuju etalase kaca, memilih rasa es krim yang berjejer di dalamnya.
“Kamu mau rasa apa, Aru?” tanya Haikala sambil menatap aneka rasa es krim yang menggoda.
Aruna berpikir sejenak, lalu menunjuk ke arah es krim rasa mint coklat chip favoritnya. “Yang ini aja.”
Haikala tertawa kecil. “Udah bisa ketebak. Selalu pilih yang itu.” Setelah memesankan es krim untuk mereka berdua, mereka duduk di kursi dekat jendela, menikmati suasana yang tenang sambil sesekali melihat orang-orang yang lewat.
Haikala memulai obrolan, mencoba menjaga suasana tetap ringan. “Jadi, gimana perasaan kamu sekarang? Baikan?”
Aruna mengaduk-aduk es krimnya dengan sendok kecil sebelum mengangguk pelan. “Ya, lumayan baik. Aku nggak tahu, Kal… rasanya seperti ada banyak hal yang menumpuk di kepala, dan aku nggak tahu gimana caranya ngatasin semuanya.”
Haikala menatap Aruna dengan penuh perhatian. “Itu wajar, Aru. Kadang, masalah itu datang barengan, dan kita ngerasa nggak punya cukup tenaga buat ngadepin semuanya. Tapi satu hal yang pasti, kamu nggak harus ngadepin itu sendirian.”
Aruna menghela napas, lalu menatap Haikala dengan senyum kecil. “Kamu bener. Mungkin aku terlalu sering ngerasa sendirian, padahal kamu selalu ada.”
Haikala mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Aruna serius. “Iya, kamu memang nggak sendiri. Dan jangan pernah ragu buat ngomong kalau kamu butuh seseorang. Aku nggak akan kemana-mana.”
Kata-kata itu membuat dada Aruna kembali hangat. Di tengah semua keraguan dan ketakutan yang terus menghantui pikirannya, Haikala adalah satu-satunya yang selalu bisa membuatnya merasa tenang. Dia mengangguk, kali ini dengan lebih pasti. “Aku janji, Kal. Aku bakal bilang kalau aku butuh bantuan.”
Haikala tersenyum puas. “Bagus. Itu yang aku mau dengar.”
Beberapa saat kemudian, mereka melanjutkan percakapan dengan lebih santai, bercerita tentang hal-hal kecil yang terjadi di sekolah, rencana untuk akhir pekan, hingga diskusi tentang musik yang baru saja mereka temukan di toko musik tadi. Tawa mereka terdengar ringan di udara, membuat kedai kecil itu terasa lebih hangat di tengah sore yang mulai beranjak malam.
Setelah mereka selesai dengan es krim, Haikala menatap jam tangan dan berkata, “Sudah mau maghrib. Aku anter kamu pulang, ya?”
Aruna menatap ke luar jendela, memperhatikan langit yang mulai gelap. Dia merasa berat untuk pulang, tapi tahu bahwa kenyataan menunggu di rumahnya. “Iya, makasih, Kal.”
Mereka berjalan pulang dalam diam, menikmati keheningan yang nyaman. Sesampainya di depan rumah Aruna, Haikala berhenti dan menatapnya dengan serius. “Kalau ada apa-apa, Aru, langsung hubungi aku, ya? Jangan pernah ngerasa malu atau takut.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak Harapan - HAERINA
Ficção AdolescenteAruna adalah malam tanpa bintang, hidupnya selalu kelam dan sepi. Namun, Haikal hadir seperti mentari di ufuk gelapnya, selalu setia memberi terang.