Bagian 27

503 36 7
                                    

Erik memacu mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Sebelumnya, ia sempat menelepon Asya dan mengabarkan kalau dirinya sedang dalam perjalanan menuju rumah Kayla. Asya ikut terkejut dan merasa bersalah karena tidak mengingatkan Erik. Lagian, ia sendiri juga tidak sadar kalau ternyata Erik telah melewati batas hari bersamanya.

Erik mampir ke sebuah toko kue. Bermaksud membelikan kue favorit Kayla dan buah tangan untuk mertuanya. Hal yang rutin ia lakukan setiap kali datang.

***

Rumah terlihat sepi dari luar, pada sore yang cukup cerah itu. Erik menarik napas sebelum meninggalkan mobilnya. Ia sudah siap menerima marah Kayla ataupun sikap mertua yang pasti tidak akan senang dengan apa yang telah dilakukannya, meskipun yang terjadi bukanlah karena sebuah kesengajaan.

Erik berdiri di depan pintu. Belum sempat mengetuk, pintu sudah ada yang membuka. Senyum manis Kayla menyambut kedatangannya.

"Assalaamu'alaykum," ucap Erik, sembari terus memperhatikan raut wajah istrinya. Tidak ditemukannya gurat kemarahan ataupun kecewa di sana.

"Wa'alaykumussalaam." Kayla meraih tangan kanan Erik dan mencium punggungnya dengan takzim. "Masuk, Bang!"

Kayla masih bersikap seperti biasa. Hal itu membuat rasa bersalah semakin menekan Erik.

"Abang, pasti belum mandi, kan?" tebak Kayla.

Erik menggeleng. "Belum."

"Ya, sudah. Abang mandi dulu. Aku bikinkan kopi, ya?" Kayla mengambil alih kantong plastik dari tangan Erik dan berlalu ke arah ruang makan.

"Eh, Rik, baru datang, Nak?" Sapaan ibu mertua yang baru keluar dari kamarnya, membuat Erik terkesiap. Ditemukannya seulas senyum dari wanita itu. Ya, tetap seperti biasa.

"Iya, Bu." Erik pun mencium tangan Rosita.

"Gimana kabar Asya?"

"Alhamdulillaah, Bu. Sudah jauh lebih baik."

"Syukurlah kalau begitu. Sekali-kali, kamu ajak Asya dong, main ke sini sama anak-anak."

"Insyaa Allah, Bu. Nanti saya sampaikan ke Asya." Erik tersenyum. "Oh, ya, Ayah mana, Bu?"

"Ayah masih di toko. Eh, Ibu mau ke rumah Bu RT dulu. Bilang ke Kayla, ya? Nanti keburu magrib."

"Saya antar, ya, Bu?"

"Tidak usah, rumahnya deket kok. Jalan kaki dua menit juga sampai." Rosita tertawa kecil.

Melihat sikap ibunda Kayla, Erik merasa cukup lega. Tidak sedikit pun ia menyinggung soal waktu untuk putrinya yang terabaikan. Salut, satu kata yang terucap di hati Erik buat mertuanya. Mungkin, karena itulah Erik sangat segan pada mereka dan takut melakukan kesalahan yang akan membuat mereka kecewa.

***

Duduk menunggu Kayla datang di ruang tengah sembari menikmati secangkir kopi, Erik berulang kali menoleh ke arah dapur. Entah apa yang dikerjakan perempuan itu di sana hingga membuat Erik agak lama menunggu.

Tak sabar, Erik bangkit dari duduk dan menyusul Kayla ke dapur. Ternyata, Kayla sedang menyusun piring yang baru selesai ia cuci.

"Butuh bantuan, Kay?" Erik mendekat.

"Enggak usah, Bang. Ini juga udah selesai. Abang, ngapain ke sini? Udah, duduk aja di sana. Bentar lagi aku nyusul."

Bukannya pergi, Erik malah memeluk Kayla dari belakang. Tentu saja Kayla kaget bukan main.

"Ih, Abang, apa-apaan! Ini di dapur, lho! Malu kalau nanti Ibu lihat." Kayla berusaha melepaskan diri, tetapi tangan Erik tidak beranjak sedikit pun.

"Ibu lagi ke rumah Bu RT," sahut Erik santai.

"Tapi ...."

"Aku minta maaf, ya?"

Ucapan Erik membuat Kayla berhenti berusaha melepaskan diri.

"Maaf untuk apa?"

"Atas kelalaianku. Karena seharusnya, kemarin aku sudah bersamamu di sini. Hanya saja, Asya sedang—"

"Tidak masalah. Aku paham." Kayla memotong kalimat Erik.

"Jangan memberiku jawaban yang membuatku semakin merasa bersalah, Kay. Tolong, protes saja jika kamu mau! Jangan pendam kalau memang kamu kecewa padaku."

Pelukan Erik mengendur, saat Kayla mencoba memutar tubuh sehingga mereka berdiri saling berhadapan. Kayla memberanikan diri menatap mata suaminya.

"Memangnya, marah itu bisa dibuat-buat?"

Erik menelan ludah dengan susah payah, saat manik indah Kayla mengunci tatapannya.

"Aku yakin, Abang bukan orang yang sengaja melakukan sesuatu yang akan menyakitiku. Karena aku tahu, Abang saaaaaaayang banget sama aku."

"Setidaknya, kamu dengar dulu alasanku, Kay!"

Kayla menggeleng, masih dengan senyum yang menghias wajah cantiknya. Ia merapatkan tubuh pada Erik dan meletakkan kedua telapak tangan di dada bidang sang suami.

"Abang tidak perlu menjelaskan apa pun padaku. Karena aku tahu kondisi Abang bagaimana. Kak Asya juga sedang dalam kondisi pemulihan. Jadi, aku tidak akan menuntutmu secara berlebihan. Sebab, sebagai istri kedua, aku harus tahu diri. Aku harus memahami posisiku."

"Tapi, Kay, aku hanya mau kamu tahu apa yang sedang terjadi. Aku nggak mau kamu salah paham padaku maupun Asya," tampik Erik. Ia memegang kedua jemari Kayla yang menempel di dadanya.

"Bang, yang memilihku untuk masuk ke dalam kehidupan kalian, adalah kalian berdua. Aku percaya, bahwa Abang ataupun Kak Asya tidak akan mengkhianatiku."

Erik tercenung. Kata-kata Kayla seperti bukan berasal dari Kayla yang ia kenal selama ini. Sikapnya semakin dewasa. Tersirat dari tutur katanya.

"Kamu tidak sedang membohongiku dengan sikap dan kata-katamu, kan, Kay? Kamu tidak sedang mencoba menyembunyikan kecewamu, kan?" Erik berusaha meyakinkan.

"Kecewa itu manusiawi, Bang. Hanya saja, kesalahan ini baru pertama kali dan itu juga bukan disengaja, bukan? Jadi ... ya, sudahlah! Tidak usah kita bahas lagi. Yang penting, Abang sudah di sini bersamaku."

Lagi-lagi Erik terdiam.

"Eh, kenapa kita malah ngobrol di dapur? Kopi Abang udah habis? Nanti keburu dingin, lho! Ayo, kita ke—”

Ucapan Kayla terputus saat Erik menariknya ke dalam pelukan.

"Terima kasih, Kay. Terima kasih telah memahami posisiku."

"Sama-sama, Bang."

***

"Kapan Abang mulai mengajariku berbisnis? Katanya, mau ngajak aku sibuk di toko kalau aku merasa jenuh di rumah." Kayla menagih janji Erik, ketika menjelang zuhur, mereka berdua pulang dari menghadiri kajian dan singgah di sebuah kedai es buah di pinggir jalan.

"Setelah aku pikir-pikir, ada baiknya kamu tidak usah ikut terjun berbisnis. Karena karyawanku di toko laki-laki semua. Nanti, kalau mereka naksir sama kamu, gimana?"

"Ih, alasannya dibuat-buat aja!" sungut Kayla.

Erik terkekeh. "Pokoknya, untuk sementara waktu, kamu cukup di rumah saja. Belajar jadi ibu rumah tangga yang baik. Banyak menimba ilmu agama dan doakan suamimu ini agar selalu diberi kesehatan. Biar mampu menafkahi kalian berdua dengan baik."

Kayla tersenyum. "Kalau soal itu, insyaa Allah tidak pernah lupa aku doakan, Bang. Eh, Abang bilang, mau buka cabang di Payakumbuh, kan? Siapa nanti yang akan mengelola di sana? Nggak mungkin Abang juga, kan?"

"Rencananya, Bang Andre yang akan aku minta mengelolanya di sana."

Dahi Kayla berkerut. "Andre ... siapa, Bang?"

Terkesiap, Erik gelagapan. Tak sengaja ia menyebut nama itu di hadapan Kayla. Kalau ia menjawab jujur siapa Andre, sudah pasti ia wajib menceritakan semua yang sengaja disimpannya selama ini.

***







Dikhitbah Masa Lalu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang