Bagian 31

320 28 11
                                    

"Kay!"

"Ya?" Kayla menyahut tanpa menoleh, karena ia sedang menyusun pakaian yang sudah disetrika ke dalam lemari. Malam itu, adalah malam terakhir waktunya bersama Erik. Sebab besok, adalah giliran Asya bersama pria itu.

"Mengenai apa yang aku lakukan di masa lalu, dan setelah kamu tahu alasanku meninggalkanmu ... apakah kamu merasa kecewa?"

Kayla menjeda sejenak gerakannya. Beberapa detik, sebelum akhirnya ia menutup pintu lemari setelah memastikan semuanya rapi. Kayla pun melangkah menuju ranjang dan duduk di pinggirnya. Sementara Erik yang duduk di kursi meja kerja bersama laptop yang menyala, tak melepas pandangannya dari sang istri. Menunggu jawaban dari perempuan itu.

"Kalau soal kecewa, aku pasti kecewa, Bang. Namun, kecewaku sudah tidak ada gunanya lagi. Karena semua sudah berlalu dan aku memang ditakdirkan hanya menjadi perempuan kedua di hidupmu. Meskipun aku adalah orang pertama yang mengisi hatimu."

Erik bisa melihat raut kekecewaan itu di wajah Kayla. Perempuan yang seharusnya menjadi satu-satunya dalam kehidupan Erik, harus berpuas diri menjadi yang kedua.

"Akan tetapi, aku sedang berusaha menyikapi semua dari sisi positifnya. Tepatnya ... dari sisi takdir, dari sisi skenario Allah. Jika dulu kita masih melanjutkan hubungan tanpa ikatan yang halal itu, belum tentu kita akan mendapatkan hidayah seperti saat ini. Justru Allah mempersatukan kita pada saat kita telah memahami mana yang boleh dan tidak boleh kita lakukan menurut syariat."

"Dulu, kita nggak tahu kalau pacaran itu haram bukan? Kita juga nggak tahu kalau pacaran itu adalah salah satu pintu untuk mendekati zina. Lalu, Allah menyelamatkan kita dengan cara yang menurut kita sangat menyakitkan. Yaitu perpisahan. Ternyata, hal yang terasa menyakitkan buat kita itu, adalah cara Allah untuk membuat kita menjadi manusia yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Seperti dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim, dikatakan bahwa jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka Allah akan pahamkan dia soal agama."

Erik hanya bisa termangu mendengar penuturan panjang Kayla yang tanpa jeda. Tak menyangka kalimat-kalimat sarat makna itu keluar dari lisan perempuan yang kini telah menjadi istri keduanya tersebut. Kayla lebih bijak dari yang ia bayangkan. Ilmu yang ia pelajari ternyata tak hanya sampai di kerongkongan, tetapi ia telan hingga mendarah daging.

"Jadi, berhentilah bertanya, apakah aku kecewa atau tidak. Jangan buat aku mengubah sikap dengan pertanyaan Abang itu. Aku sedang belajar menjadi manusia yang penuh syukur. Apalagi telah dipertemukan kembali denganmu, lelaki yang selama ini sangat sulit untuk aku lupakan."

Kayla tersenyum memandang Erik. Lelaki itu pun bangkit meninggalkan kursinya dan mendekat pada Kayla. Ia tidak berkata apa-apa, selain duduk di sisi Kayla. Kemudian membingkai wajah Kayla sembari menatap matanya dengan lekat. Satu kecupan hangat ia berikan di dahi Kayla.

"Tidurlah! Kamu pasti capek. Aku mau menyelesaikan pekerjaan sedikit lagi."

Kayla kembali tersenyum dan mengangguk. Hatinya terasa lapang. Nasihat yang diberikan Rahma begitu berharga untuknya. Sehingga ia pun mulai belajar menerima semua takdir yang telah dituliskan sejak masih berada di rahim sang ibu.

"Aku berharap, setelah kita pulang bulan madu nanti, kamu tinggal di rumah yang sudah aku siapkan. Aku mau kamu mandiri bersamaku. Nanti, Bu Nina yang akan menemanimu di sana." Erik membelai rambut Kayla.

Perempuan itu hanya menjawab dengan sebuah anggukan patuh. Permintaan Erik tidaklah berlebihan. Karena terkadang, saat Rahma menginap bersama anak-anaknya dan kebetulan Erik juga sedang ada di sana, Kayla tahu kalau suaminya merasa tidak nyaman. Tinggal di rumah sendiri adalah keputusan tepat. Kayla pun bisa belajar terbiasa tanpa ibu dan ayahnya.

***

Dilanda cemburu. Itu yang dirasakan Asya ketika Erik menyampaikan niatnya untuk berbulan madu bersama Kayla untuk beberapa hari.

"Bisa nggak, kalau ditunda dulu sampai aku benar-benar kuat?" Spontan permintaan itu terlontar dari lisan Asya. Entah apakah Erik bisa membaca apa yang tersirat dari kata-katanya saat itu.

Erik yang sedang menunduk, fokus menikmati makan malamnya, seketika mengangkat wajah. Tatapannya lurus pada Asya yang berada di seberangnya.

Perempuan itu lantas membuang pandangan. Mengingkari tuduhan Erik lewat tatapan penuh selidik.

"Memangnya ... kamu ... belum kuat dalam hal apa?"

Asya tidak menyahut. Nasi yang ia makan saat itu, rasanya berubah jadi hambar. Padahal, ia tengah menikmati lauk favoritnya.

"Kalau untuk urusan pekerjaan rumah tangga, ada Bu Hindun dan Bu Nina, kan?"

Kali ini Asya mengangguk.

"Dan kamu jangan melakukan aktivitas berat dulu. Cukup fokus ke anak-anak saja. Ya?"

Erik tahu, sesungguhnya Asya tengah cemburu. Namun, ia juga tidak mungkin membatalkan rencana yang sudah disusun. Apalagi, Kayla sudah sangat antusias menyambut bulan madu mereka. Kalau ditunda, Kayla pasti akan kecewa dan Erik tidak mau itu terjadi lagi.

"Atau ... kamu mau ikut dengan kami?"

"Ih, apaan, sih? Masa gangguin orang bulan madu. Yang ada malah ribet nanti. " Asya cemberut. "Aku hanya takut, kalau pas Abang pergi, Bang Andre ...."

"Kamu jangan khawatir lagi soal Andre. Insyaa Allah, dia tidak akan berani lagi datang ke sini. Apalagi, sekarang dia sudah di luar kota."

"Ya, tapi bisa aja kalau kemarin itu dia hanya pura-pura menyesal dan—”

"Sya!" potong Erik.

Asya langsung terdiam.

"Jangan memiliki kekhawatiran yang berlebihan terhadap segala sesuatu. Jangan berprasangka buruk dulu terhadap apa yang belum terjadi. Kalau memang Andre masih nekat datang ke sini, kamu tinggal telepon Pak RT atau RW. Nomor teleponnya sudah ada di ponselmu, kan?"

Asya masih bergeming.

"Sya, bukankah kamu sendiri yang memintaku poligami? Artinya kamu telah siap dengan segala resiko yang mungkin akan memantik rasa cemburumu. Aku dan Kayla pergi, karena aku hanya ingin menunaikan haknya."

"Aku nggak cemburu, Bang!" Asya menampik agak sengit.

Erik tersenyum. Lupa kalau tidak satu pun wanita yang mau mengakui kalau ia tengah cemburu. Tak terkecuali dengan perempuan di hadapannya itu.

"Maaf jika telah menuduhmu. Tapi percayalah, Sya! Lama-lama kamu juga akan terbiasa. Bukan hanya kamu, aku dan Kayla juga begitu. Kita masih dalam proses. Aku hanya berharap, kita bertiga bisa saling mengerti akan hak dan kewajiban masing-masing. Selama tidak ada yang aku zolimi, maka tolong mengertilah! Sekarang ini, tidak hanya kamu sendiri yang aku pikirkan. Ada Kayla juga. Bahagia kalian itu pasti berbeda-beda dan aku sedang berusaha mempelajarinya."

Asya menaruh sendoknya, lalu menunduk. "Maafkan aku, Bang!"

"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kamu itu tidak salah. Apa yang kamu rasakan masih dalam batas wajar. Semoga ke depannya, kita bisa sama-sama saling memahami, ya, Sayang?"

Wanita itu mengangkat kepala, membalas tatapan sang suami. Lantas, ia tersenyum.

"Aku sayang banget sama kamu, Sya."

"Aku tahu."

"Oh, ya, malam ini ... mau keliling kota, nggak? Kita bawa anak-anak. Udah lama kita nggak menikmati suasana malam di luar."

"Boleh, Bang."

"Oke. Habisin makanan kamu dulu, setelah itu baru kita siap-siap."

***

[Biarkan Erik bahagia bersama Kayla. Sebaiknya kamu mundur saja, Sya! Karena walau bagaimanapun, Kayla adalah wanita pertama dan satu-satunya di hati Erik sejak dulu]

Terbelalak, Asya membaca ulang pesan yang dikirimkan seseorang.

"Apa maksudnya?" gumam Asya. "Kayla dan Bang Shabri ... apakah mereka ... ?"

***

Yuhuuuuu, tinggal beberapa bab lagi tamat lhoooooo! 😍
Jangan lupa untuk menurunkan ekspektasi kalian dalam menebak endingnya 😆

Dikhitbah Masa Lalu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang