Bagian 26

654 46 0
                                    

Erik berhasil meminta Andre pergi, setelah menyerahkan kunci dan sertifikat rumah peninggalan orang tua mereka. Berharap, lelaki itu akan berhenti mengganggu hidupnya dan Asya, meskipun kecil kemungkinannya.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Erik cemas. Asya terlihat pucat dan lemas.

Asya mengangguk pelan sambil melepaskan jilbab dan cadarnya. "Aku baik-baik saja. Cuma ... rasanya pengen berbaring saja."

Wanita itu merebah di sofa. Erik memandangnya dengan tatapan penuh selidik.

"Kenapa menatapku seperti itu?"

"Kamu ... tahu masa laluku?"

Asya mengangguk.

"Bagaimana bisa?" Erik tergemap.

Sang istri tertawa kecil. "Aku menyelidikinya saat kita baru menikah dan ... sayangnya, aku tidak berhasil mencari tahu siapa perempuan masa lalu Abang itu."

Ada perasaan lega di hati Erik mendengar jawaban Asya. Entah apa yang akan terjadi jika Asya tahu kalau perempuan masa lalunya adalah Kayla, yang kini berstatus sebagai adik madunya.

"Lagian, aku juga tidak mau tahu siapa perempuan itu. Karena tidak semua masa lalu pasangan itu harus kita ketahui seluruhnya jika itu bisa memicu perselisihan."

"Kamu benar." Erik mengangguk-angguk.

"Soal Bang Andre, mungkin ada baiknya Abang mencarikan jodoh untuknya." Asya memcoba mengalihkan pembicaraan.

"Kamu yakin?"

"Kenapa tidak?"

"Usulmu bagus. Walau rasanya sedikit mustahil mengingat dia seperti masih belum merelakanmu menjadi milikku. Tapi ... nanti aku akan mencoba bicara dari hati ke hati dengannya. Saat ini suasana hati dia maupun aku sedang tidak kondusif. Tidak akan bisa diajak ngobrol baik-baik. Rencananya, nanti aku juga akan memintanya mengelola cabang toko yang rencananya akan dibuka di luar kota. Biar dia ada kesibukan dan melupakan niatnya untuk mengganggumu."

Asya tersenyum, menyetujui niat baik sang suami.

"Bang Andre jauh berubah, ya, Bang? Dia seperti kehilangan keistiqamahannya dalam berhijrah. Aku tidak melihat Bang Andre yang dulu di dirinya. Seorang yang paham agama, tidak mungkin melakukan tindakan seperti tadi siang."

Erik mengangguk-angguk. "Ya, aku pun merasakan hal yang sama denganmu. Entah apa yang membuatnya demikian. Semoga nanti, dia bisa kembali seperti dulu. Dan walau bagaimanapun, aku akan tetap berusaha dekat dengannya dan mengajaknya kembali ke majelis-majelis ilmu. Agar Bang Andre bisa kembali seperti dulu."

Asya begitu takjub dengan sikap Erik yang masih bisa berbuat baik pada Andre, setelah apa yang ia lakukan. Tak bisa digambarkan betapa sempurnanya Erik di mata Asya.

***

Sejak peristiwa waktu itu, Erik selalu memberi perhatian yang lebih untuk Asya. Ia akan menelepon wanita itu setiap lima belas menit atau setiap setengah jam. Memastikan kalau istrinya baik-baik saja dan Andre tidak mengganggunya lagi.

Walau sedikit risih, tetapi hati Asya berbunga-bunga menerima perhatian yang tak biasa itu. Ia yakin kalau Erik tidak pernah main-main dengan apa yang diucapkannya. Asya pun semakin memantapkan diri untuk terus mengabdi pada lelaki tersebut sampai akhir hayatnya, walau tahu jika kasih Erik tak hanya miliknya seorang. Ada Kayla yang juga berhak mendapat separuh hati sang suami.

***

"Suamimu belum ke sini? Seharusnya kemarin, kan?" tanya Rosita pada Kayla. Karena Rosita sudah hafal kapan jadwal menantunya itu menginap di rumahnya.

Kayla yang sedang membersihkan sayuran, menggeleng. "Belum, Bu. Mungkin ... Kak Asya sedang butuh dia lebih lama. Maklumi saja karena Kak Asya masih dalam tahap pemulihan, Bu."

Kayla menjawab dengan tenang meskipun dadanya bergemuruh. Karena sampai detik ini, Erik belum memberinya kabar. Seperti kata sang ibu tadi, Erik seharusnya sudah bersamanya sejak kemarin. Namun, entah mengapa, belum ada tanda-tanda kalau lelaki itu akan datang. Jangankan menelepon, sebaris pesan saja tidak satu pun yang mampir ke ponsel Kayla.

"Apakah dia menelepon atau mengirimkan pesan untuk mengatakan kalau dia belum bisa ke sini?"

"Enggak, Bu."

Rosita yang sedang mengaduk gulai di dalam kuali, seketika menghentikan gerak tangannya. Lantas, ia menoleh pada Kayla yang berdiri tak jauh darinya.

"Lalu, kamu tahu dari mana kalau Asya sedang butuh dia lebih lama? Kamu yang menelepon suamimu?"

"Enggak juga, Bu. Hanya perkiraan Kayla saja," jawab Kayla. Ia tidak berani memandang ibunya.

Rosita mengembus napas. "Nggak bisa begini dong, Kay. Apa pun yang terjadi, seharusnya Erik minta izin kamu dulu. Ngasih kabar dulu kalau dia mau menambah harinya bersama Asya."

"Sudahlah, Bu. Kayla nggak apa-apa. Toh baru telat sehari saja, kan? Nanti sore atau besok, Bang Erik pasti datang, kok." Kayla berusaha menenangkan ibunya yang terdengar sedikit emosi.

"Harusnya, jika dia tidak menghubungimu, kamu yang berinisiatif menelepon suamimu, Kay. Tanyakan baik-baik kenapa dia belum ke sini."

"Iya, Bu. Nanti Kayla telepon habis kita masak, ya?" Kayla mencoba tersenyum walau merasa sedih. Bukan tak mau menelepon Erik, hanya saja ia tidak ingin mengusik Asya. Ia harus menjaga perasaan istri pertama Erik itu. Siapa tahu, wanita tersebut memang sedang membutuhkan Erik lebih lama.

***

Dengan tangan sedikit gemetar, Kayla menyentuh tombol hijau saat nama Erik sudah terpampang di layar ponselnya. Ia mencoba menelepon Erik atas saran dari sang ibu karena Erik sudah mengabaikan haknya.

Ponsel Erik rupanya sedang tidak aktif. Kayla memastikan lagi, jika ia tidak salah memilih kontak dan mencoba menghubungi kembali. Ternyata, sama saja. Ponsel Erik memang sedang tidak aktif.

Perasaan Kayla mulai berkecamuk. Ia merasa drama rumah tangga poligami yang sedang dilakoninya, sedang dimulai. Siap atau tidak, Kayla harus berusaha menghadapi dengan lapang dada. Mengingat statusnya yang hanya sebagai istri kedua, maka ia tidak boleh gegabah dalam bertindak.

Kayla menarik napas panjang, lalu mengembusnya perlahan. Ia berusaha memberi afirmasi positif pada diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja dan tidak ada yang perlu ia cemaskan. Lebih baik, ia menunggu saja dengan sabar.

***

Erik merasa lega, setelah menyelesaikan urusan dengan seseorang hari itu. Ia baru saja menandatangani surat kontrak ruko yang akan disewanya di luar kota untuk cabang baru tokonya. Di mana nanti toko itu rencananya akan dipegang oleh Andre.

Sambil duduk santai di ruangannya, Erik menyalakan ponsel yang sejak tadi sengaja ia non-aktifkan. Ia pun mulai memeriksa jadwal-jadwal yang telah disusunnya di salah satu aplikasi ponsel. Tiba-tiba Erik terkejut, saat melihat sebuah catatan khusus dan ia dengan segera menghitung hari.

"Astaghfirullaah, harusnya sejak kemarin aku bersama Kayla," gumamnya penuh sesal. Ia mengembus napas kesal, merutuki diri sendiri karena telah melalaikan hak salah satu istrinya. Erik terlalu sibuk dengan Asya sejak kehadiran Andre. Sampai-sampai ia lupa kalau istrinya tak hanya Asya. Bahkan, bodohnya ia tidak mengirim kabar apa pun pada Kayla.

"Tapi, kenapa Kayla tidak meneleponku? Harusnya dia sudah protes karena kelalaianku." Erik mulai gusar.

Tanpa berpikir panjang lagi, Erik segera meraih kunci mobil di meja dan meninggalkan ruangannya. Tujuannya saat itu adalah menemui Kayla dan meminta maaf atas kelalaiannya. Erik pun sudah mempersiapkan diri jika Kayla marah dan ia juga tidak akan membela diri dari kesalahan yang telah ia lakukan.

***

Dikhitbah Masa Lalu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang