Bagian 20

674 30 0
                                    

Rosita sudah pulang setengah jam yang lalu, dijemput oleh Hamdi, sang suami. Sementara Kayla masih diminta tinggal dulu oleh Erik. Meskipun di sana Kayla tidak melakukan apa-apa, tetapi sebagai istri ia harus mulai belajar patuh.

Kayla bisa melihat betapa telatennya Erik merawat dan melayani Asya. Sifat penyayang lelaki itu tidak pernah berubah di mata Kayla, terutama terhadap perempuan. Karena ia pernah merasakan itu bertahun-tahun saat berpacaran dengan pria tersebut.

Kayla dan Asya banyak bertukar cerita. Jika Kayla lebih banyak menceritakan pengalaman bagaimana ia bisa hijrah, maka Asya lebih suka menceritakan tentang Erik dan sifat-sifatnya. Tak lupa Asya memberi tahu Kayla tentang makanan kesukaan Erik dan hal-hal apa saja yang tidak disukai lelaki tersebut.

Walaupun sudah tahu semuanya, tetapi Kayla tetap bersikap seolah-olah ia tidak tahu apa-apa soal Erik. Semua demi menjaga hati kakak madunya tersebut. Bukan tidak mau berterus terang, hanya saja ia dan Erik butuh waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya. Apalagi kondisi Asya sekarang tidak boleh diberi pikiran yang berat. Mereka juga berusaha menjaga hati Asya.

***

Waktu shalat Magrib telah berlalu beberapa saat yang lalu. Erik dan Kayla baru saja kembali dari mushala. Ketika masuk ke ruangan Asya, ternyata wanita itu sedang tidur. Erik dan Kayla pun memutuskan untuk duduk di luar ruangan saja. Sebab tak ingin mengganggu Asya dengan suara mereka mengobrol.

"Kamu lapar?" tanya Erik. "Aku belikan makanan, ya?"

"Nggak usah, Bang. Aku belum lapar. Kalau Abang lapar, Abang saja yang makan, biar Kak Asya aku yang tungguin."

"Aku juga belum lapar. Nanti saja." Erik melepas pandangan ke depan. Dari lantai dua rumah sakit itu, mereka bisa melihat kerlap-kerlip lampu kota. Cuaca malam yang lumayan sejuk, menciptakan suasana tersendiri bagi sepasang pengantin baru itu.

"Aku seduhin kopi, ya? Tadi, aku sempat bawa kapucino dari rumah. Kayaknya ada di tas, deh." Kayla menawarkan.

Erik menoleh, memandang takjub pada perempuan itu. "Kamu masih saja ingat hal-hal detail tentangku, Kay."

Kayla tersenyum. Ia tidak menanggapi, memilih bangkit dan masuk ke ruangan Asya untuk menyeduh secangkir kopi.

Tak lama, ia pun datang kembali ke tempat Erik duduk dengan secangkir kapucino hangat. Lalu disodorkannya pada lelaki itu.

"Terima kasih, Kay."

"Sama-sama. Nggak ada susu, nggak apa-apa kalau kurang manis, ya?" Kayla duduk di sisi Erik.

"Nggak apa-apa. Mandangin kamu sambil ngopi aja udah berasa kemanisan kopinya," canda Erik.

"Ih, ngegombal!" Lagi-lagi Erik berhasil membuat pipi Kayla merona.

Erik terkekeh pelan, lalu menyeruput perlahan kopinya.

"Aku masih nggak percaya dengan semua ini, Bang."

"Kenapa?"

"Saat ini ... aku bersamamu dan ... kita bahkan sudah menikah. Tidak perlu takut lagi ketahuan sama Ayah dan Ibu kayak dulu." Ada senyum yang terukir di kedua sudut bibir Kayla.

"Apalagi aku, Kay. Bertemu denganmu, aku merasa menemukan diriku kembali. Aku menemukan sesuatu yang hilang dari hidupku selama ini."

"Kenapa dulu tidak memilih menjalani hubungan LDR denganku? Bukankah aku sudah bilang kalau aku sanggup untuk itu? Dan beberapa waktu lalu saat Abang meneleponku, Abang bilang kalau Abang dulu bohong soal kuliah S2 itu. Memangnya ... apa sebenarnya yang terjadi? Abang, ke mana waktu itu?"

Erik menelan ludah, memandang kopi yang ia pegang dengan kedua jemari. Kemudian, tatapannya kembali ke pekatnya malam di depan sana. Ingin bercerita, tetapi lidahnya terasa berat untuk memulai.

Dikhitbah Masa Lalu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang